Jumat, 23 November 2012

Masih (Puisi)

Malam Kesaksian

Bertandang ke gubuk jumat,
terlihat pekat jatuh merapat di malam perempat.
Sejengkal jarak antara keramat,
pun tabir pekat siap melumat,
hingga terdengar nyanyian kiamat.

Angin berhenti..
Rembulan memucat,
bagai mayat yang terapung di kali.
Lentera padam..
Ombak menawar bisu,
bagai kehilangan sluruh garam.

Ini malam kesaksian,
diantara jeritan yang terseret bersama luka menganga,
diantara manusia nista yang sibuk berlari menjauhi jilatan lava.

Jika diizinkan,
pertemukanlah di tangga keabadian tuk sejenak memandang.

Metro, 23 November 2012


Selarik Ayat

Selarik ayat mungkin tlah dia kirimkan,
hingga wajah purnama ketiga terasa semakin dekat.
Selarik ayat mungkin tlah dia gemakan,
hingga bergetar hati yang risau.

Rupa pucat
tatapan tersembunyi
lalu tersenyum.

Masih terlalu dini untuk menyelami samudera
tuangkan saja pada gelas yang pas, pesanku.

Sepanjang ayat yang tlah dia perdengarkan,
pun demikian balasku.

Metro, 4 Okt 2012


Wajah Kencur

Malam kian larut
wajah kencur masih bergelayut
tak ingin kehilangan raut
meski tak berpaut
Malam kian dingin
wajahnya seperti angin
berbisik tanpa izin
seolah sampaikan ingin

Muda dengan segala rasa
sampai tinggalkan asa
apakah benar ucapnya?
Tua tak luput rasa
sisakan tanya
apakah arti dari satu dua ucap kata
yang meluncur dari bibir mungilnya?

Andai saja malam tak larut
mungkin memori akan luput.

Metro, 2 Okt 2012


Bocah

Bocah itu tiba-tiba nyusup ke paru-paru
memberi udara segar seperti tak mau keluar

Bah! Macam virus bersarang saja.

Menyelinap di balik jantung
dan nongkrong di hunian rasa
padahal tak sedikitpun diinginkan

Metro, 26 Sept 2012

Aliran-aliran Psikolinguistik




BAB I
PENDAHULUAN

1.  Latar Belakang

            Pembelajaran bahasa, sebagai salah satu masalah kompleks manusia, selain berkenaan dengan masalah bahasa, juga berkenaan dengan masalah kegiatan berbahasa. Sedangkan kegiatan berbahasa itu bukan hanya berlangsung secara makanistik, tetapi juga berlangsung secara mentalistik. Artinya, kegiatan berbahasa itu berkaitan juga dengan proses atau kegiatan mental (otak). Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa, studi linguistik perlu dilengkapi dengan studi antardisiplin antara linguistik dan psikologi, yang lazim disebut psikolinguistik.
Wundt adalah Bapak Psikologi Eksperimen yang pertama kali membangun Laboratorium Psikologi di Leipzig, Jerman pada abad  ke-19. Di samping itu, Wundt telah memperkenalkan apa yang pada waktu itu di sebut Psikologi Bahasa (Psychologie Der Sprache) yang materinya tidak jauh berbeda dengan apa yang dibahas dalam Psikolinguistik dewasa ini. Istilah Psikolinguistik merupakan istilah lain dari Psikologi Bahasa yang muncul setelah Perang Dunia Kedua.

Pada tahun 1900 Wundt menulis buku tentang psikolingistik yang berjudul ”Die Sprache” terdiri atas dua jilid. Die Sprache inji merupakan bagian dari satu set buku karangan Wundt yang berjudul  ”Volker Psychologie” (Psikologi Bangsa) yang membahas tentang kebudayaan, struktur sosial bahasa, moral, dan lain-lain dari pelbagai bangsa yang berbeda di dunia. Isinya semacam antropologi terhadap kebanyakan para psikolog yang tidak menyadari atau mengetahuinya.

Dalam bukunya itu, Wundt berusaha dengan keras mennabungkan dua aliran yang sangat kuat pada abad ke-19, yaitu aliran idealisme atau rasionalisme dengan alirn empirisme.


1.2 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui:
1.      Apakah yang dimaksud dengan psikologi?
2.      Apakah yang dimaksud dengan lingustik?
3.      Apakah yang dimaksud dengan psikolinguistik?
4.      Aliran-aliran apa sajakah yang terdapat dalam psikolinuistik?


                                              



























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Psikologi
Secara etimologi kata psikologi berasal dari bahasa Yunani Kuno psyche dan logos. kata  psyche berarti jiwa, roh, atau sukma, sedangkan kata logos berarti ilmu. Jadi, secara harfiah berarti ilmu jiwa atau ilmu yang objek kajiannya adalah jiwa. dulu ketika psikologi adalah ilmu yang mengkaji jiwa masih bisa dipertahankan. Dalam kepustakaan pada tahun 50an nama ilmu jiwa lazim digunakan sebagai padanan kata psikologi. Namun, kini istilah ilmu jiwa tidak digunakan lagi karena bidang ilmu ini memang tidak meneliti jiwa, roh, atau sukma, sehingga istilah itu kurang tepat.
Dalam perkembangan lebih lanjut, psikologi lebih membahas atau mengkaji sisi – sisi manusia dari segi yang bisa diamati. Kareba jiwa itu bersifat abstrak, sehingga tidak dapat diamati secara empiris, padahal objek kajian setiap ilmu harus dapat diobservasi secara indrawi. Dalam hal ini jiwa atau keadaan jiwa hanya bisa diamati melalui gejala – gejalanya seperti orang yang sedih akan berlaku murung, dan orang yang gembira tampak dari gerak – geriknya yang riang atau dari wajahnya yang binar – binar. Meskipun demikian, kita juga sering mendapat kesulitan untuk mengetahui keadaan jiwa seseorang dengan hanya melihat tingkah lakunya saja. Tidak jarang kita jumpai seseorang yang sebenarnya sedih tetapi tetap tersenyum. Atau seseorang yang sebenarnya jengkel atau marah tetapi tetap tenang atau malah tertawa.
Walaupun besar gerak – gerik lahir seseorang belum tentu menggambarkan keadaan jiwa yang sebanarnya, namun, secara tradisional, psikologi lazim diartikan sebagai satu bidang ilmu yang mencoba mempelajari perilaku manusia. Caranya adalah dengan mengkaji hakikat rangsangan, hakikat reaksi terhadap rangsangan itu dan mengkaji hakikat proses – proses akal yang berlaku sebelum reaksi itu terjadi. Para ahli psikologi belakangan ini juga cenderung untuk menganggap psikologi sebagai suatu ilmu yang mecoba mengkaji proses akal manusia dan segala manifestasinya yang mengatur perilaku manusia itu. Tujuan pengkajian akal ini adalah untuk menjelaskan, memprediksikan, dan mengontrol perilaku manusia.
Dalam perkembangannya, psikologi telah menjadi beberapa aliran sesuai dengan paham filsafat yang dianut. Karena itulah dikenal adanya psikologi yang mentalistik, yang bahavioristik, dan yang kognitifistik.
Psikologi yang mentalistik melahirkan aliran yang disebut psikologi kesadaran. Tujuan utama psikologi kesadaran adalah mencoba mengkaji proses – proses akal manusia dengan cara mengintrospeksi atau mengkaji diri. Oleh karena itu, psikologi kesadaran lazim juga disebut psikologi introspeksionisme. Psikologi ini merupakan suatu proses akal dengan cara melihat kedalam diri sendiri setelah suatu rangsangan terjadi.
Psikologi yang behavioristik melahirkan aliran yang disebut psikologi perilaku. Tujuan utama psikologi perilaku ini adalah mencoba mengkaji perilaku manusia yang berupa reaksi apabila suatu rangsangan terjadi, dan selanjutnya bagaimana mengawasi dan mengontrol perilaku itu. Para pakar psikologi behavioristik ini tidak berminat mengkaji proses – proses akal yang membangkitkan perilaku tersebut karena proses – proses akal ini tidak dapat diamati atau diobservasi secara langsung. Jadi, para pakar psikologi perilaku ini tidak mengkaji ide – ide, pengertian, kemauan, keinginan, maksud, pengharapan, dan segala mekanisme fisiologi. Yang dikaji hanyalah peristiwa – peristiwa yang dapat diamati, yang nyata dan konkret, yaitu kelakuan atau tingkah laku manusia.
Psikologi yang kognitifistik dan lazim disebut psikologi kognitif mencoba mengkaji proses–proses kognitif manusia secara ilmiah. Yang dimaksud kognitif adalah proses–proses akal (pikiran, berpikir) manusia yang bertanggung jawab mengatur pengalaman dan perilaku manusia. Hal utama yang dikaji oleh psikologi kognitif adalah bagaimana cara manusia memperoleh, menafsirkan, mengatur, menyimpan, mengeluarkan, dan menggunakan pengetahuannya, termasuk perkembangan dan penggunaan pengetahuan bahasa. Perbedaannya dengan psikologi kesadaran adalah bahwa menurut paham mentalisme proses–proses akal itu berlangsung setelah terjadinya rangsangan. Sedangkan menurut psikologi kognitif proses– proses akal itu dapat terjadi karena adanya kekuatan dari dalam, tanpa adanya rangsangan terlebih dahulu.kekuatan dari dalam, tanpa adanya rangsangan terlebih dahulu. Perilaku yang muncul sebagai hasil proses akal seperti ini disebut perilaku atau tindakan bertujuan sebagai hasil kreativitas organisme manusia itu sendiri.

Psikologi sangat berkaitan erat dengan kehidupan manusia dalam segala kegiatannya yang sangat luas. Oleh karena itu, muncullah berbagai cabang psikologi yang diberi nama sesuai dengan penarapannya. Diantara cabang–cabang itu adalah psikologi sosial, psikologi perkembangan, psikologi klinik, psikologi komunikasi, dan psikologi bahasa.


B.     Linguistik
Secara  umum linguistik  lazim diartikan sebagai ilmu bahasa atau ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Pakar linguistik disebut lingui, dalam bahasa inggris juga berarti orang yang mahir menggunakan beberapa bahasa, selain bermakna pakar linguistik. Seseorang linguis mempelajari bahasa bukan dengan tujuan utama untuk mahir menggunakan bahasa itu, melainkan untuk mengetahui secara mendalam mengenai kaidah – kaidah struktur bahasa, beserta dengan berbagai aspek dan segi yang menyangkut bahasa itu. Andaikata si linguis ingin memahirkan penggunaan bahasa bahasa itu tentu juga tidak ada salahnya. Bahkan akan menjadi lebih baik. Sebaiknya, seseorang yang mahir dan lancar dalam menggunakan beberapa bahasa, belum tentu dia seorang linguis kalau dia tidak mendalami teori tentang bahasa. Orang seperti ini lebih tepat disebut seorang poliglot ”berbahasa banyak”, sebagai dikotomi dari monoglot ”berbahasa satu”.
Kalau dikatakan bahwa linguistik atu adalah ilmu yang objek kajiannya adalah bahaasa, sedangkan bahasa itu sendiri merupakan fenomena yang hadir dalam segala aktivitas kehidupan manusia, maka linguistik itu pun menjadi sangat luas bidang kajiannya. Oleh karena itu, kita bisa lihat adanya berbagai cabang linguistik yang dibuat berdasarkan berbagai kriteria atau pandangan. Secara umum pembidangan linguistik itu adalah sebagai berikut.
  1. Menurut objek kajian, linguistik dapat dibagi atas dua cabang besar, yaitu linguistik mikro dan linguistik makro. Objek kajian linguistik mikro adalah struktur internal bahasa itu sendiri, mencakup struktur fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon. Sedangkan objek kajian linguistik makro adlah bahasa dalam hubungannya dengan faktor di luar bahasa seperti faktor sosiologis, psikologis, antropologi, dan neurologi. Berkaitan dengan faktor – faktor di luar bahasa itu muncullah bidang – bidang seperti sosiologistik, psikologistik, neurolinguistik dan etnolinguistik. Disini, linguistik dipandang sebagai disiplin utama, sedangkan ilmu-ilmu lain sebagai disiplin bawahan.
  2. Menurut tujuan kajiannya, linguistik dapat dibedakan atas dua bidang besaar yaitu linguistik teoteris dan linguistik terapan. Kajian teoteris hanya ditujukan untuk mencari atau menentukan teori – teori linguistik. Hanya untuk membuat kaidah – kaidah linguistik secara deskriptif. Sedangkan kajian terapan ditujukan untuk menerapkan kaidah – kaidah linguistik dalam kegiatan praktis, seperti dalam pengajaran bahasa, penerjemahan, penyusunan kamus, dan sebagainya.
  3. Adanya yang disebut linguistik sejarah dan sejarah linguistik. Linguistik sejarah mengkaji perkembangan dan perubahan suatu bahasa atau sejumlah bahasa, baik dengan diperbandingkan maupun tidak. Sejarah linguiatik mengkaji perkembangan ilmu linguistik, baik mengenai tokoh – tokohnya, aliran – aliran teorinya, maupun hasil – hasil kerjanya.
Dalam kaitannya dengan psikologi, linguistik lazim diartikan sebagai ilmu yang muncoba mempelajari hakikat bahasa, atruktur bahasa, bagaimana bahasa itu diperoleh, bagaimana bahasa itu bekerja, dan bagaimana bahasa itu berkembang. Dalam konsep ini tampak bahwa yang namanya psikolinguistik dianggap sebagai cabang dari linguistik, sedangkan linguistik itu sendiri dianggap sebagai cabang dari psikologi.

C.    Psikolinguistik
Psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan kata linguistic, yakni dua bidang ilmu yang berbeda, yang masing – masing berdiri sendiri, dengan prosedur dan metode yang berlainan. Namun, keduanya sama – sama meneliti bahasa sebagai objek formalnya. Hanya materinya yang berbeda, linguistik mengkaji struktur bahasa, sedangkan psikologi mengkaji perilaku berbahasa atau proses berbahasa. Dengan demikian cara dan tujuannya juga berbeda.
Meskipun cara dan tujuan berbeda, tetapi banyak juga bagian – bagian objeknya yang dikaji dengan cara yang sama dan dengan tujuan yang sama, tetapi dengan teori yang berlainan. Hasil kajian kedua disiplin ini pun banyak yang sama, meskipun tidak sedikit yang berlainan. Oleh karena itulah, telah lama dirasakan perlu adanya kerja sama di antara kedua disiplin ini untuk mengkaji bahasa dan hakikat bahasa. Dengan kerja sama kedua disiplin itu diharapkan akan diperoleh hasil kajian yang lebih baik dan lebih bermanfaat.
Sebagai hasil kerjasama yang baik, lebih terarah, dan lebih sistematis diantara kedua ilmu itu, lahirlah satu disiplin ilmu baru yang disebut psikolinguistik, sebagai ilmu antardisiplin antara psikologi dan linguistik. Istilah psikolinguistik itu sendiri baru lahir tahun 1945, yakni tahun terbitnya buku psycholinguistics : A Survey of Theory and Reserch Problems yang disunting oleh Charles E. Osgood dan Thomas A. sebeok, di Bloomington, Amerika Serikat.
Psikolinguistik mencoba menguraikan proses –  proses psikologi yang berlangsung
jika seseorang mengucapkan kalimat – kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi, dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh manusia (Slobin, 1974; Meller, 1964; Slama Cazahu, 1973). Maka secara teoteris tujuan utama psikolinguistik adalah mencari satu teori bahasa yang secara linguistik bisa diterima dan secara psikologi dapat menerangkan hakikat bahasa dan pemeerolehannya. Dengan kata lain, psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, dan bagaimana struktur ini diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada
waktu memahami kalimat– kalimat dalam pertuturan itu. Dalam prakteknya psikolinguistik mencoba menerapkan pengetahuan linguistik dan psikologi pada masalah – masalah seperti pengajaran dan pembelajaran bahasa, pengajaran membaca permulaan dan membaca lanjut, kedwibahasaan dan kemultibahasaan, penyakit bertutur seperti afasia, gagap, dan sebagainya; serta masalah – masalah sosial lain yang menyangkut bahasa, seperti bahasa dan pendidikan,
bahasa dan pembangunan nusa dan bangsa.

D. Sejarah Perkembangan Psikolnguistik
Istilah  psikolinguistik baru muncul pada tahun 1954 dalam buku Thomas A. Sebeok  dan Charles E. Osgood yang berjudul  Pshycolinguiatics: A Survey of Theory and Research Problems, namun sebenarnya sejak zaman  panini, ahli bahasa dari India, dan Sokrates ahli filsafat dari Yunani, pengkajian bahasa telah dilakukan orang. Kajian mereka tidak terlepas dari paham/aliran filsafat yang mereka anut, karena filsafat merupakan induk dari semua disiplin ilmu.
Pada abad yang lalu terdapat dua aliran filsafat yang saling bertentangan dan saling memengaruhi perkembangan linguistik dan psikologi. Yang pertama adalah aliran empirisme yang erat kaitannya dengan psikologi asosiasi. Aliran empirisme melakukan kajian terhadap data empiris atau objek yang dapat diobservasi dengan cara menganalisis unsur – unsur pembentukannya sampai yang sekecil – kecilnya. Oleh karena itu, aliran ini disebut bersifat atomistik, dan lazim dikaitkan dengan asosianisme dan positivisme.
Aliran kedua dikenal dengan nama rasionalisme. Aliran ini mengkaji akal sebagai satu keseluruhan dan menyatakan bahwa faktor – faktor yang ada dalam akal inilah yang patut diteliti untuk bisa memahami perilaku manusia itu. Oleh karena itu, aliran ini disebut bersifat holistik, dan biasa dikaitkan dengan paham nativisme, idealisme, dan mentalisme.
Psikolinguistik bermula dari adanya pakar linguistik yang berminat pada psikologi, dan adanya pakar psikologi yang berkecimpung dalam linguistik. Dilanjutkan dengan adanya kerjasama antara pakar linguistik dan pakar psikologi, dan kemudian muncullah pakar – pakar psikolinguistik sebagai disiplin mandiri.

a.      Psikologi dalam Linguistik
Dalam sejarah linguistik ada sejumlah pakar linguistik yang menaruh perhatian besar pada psikologi. Von Humboldt (1767-1835), pakar linguistik berkebangsaan Jerman telah mencoba mengkaji hubungan antara bahasa (linguistik) dengan pemikiran manusia (psikologi). Caranya, dengan membandingkan tata bahasa dari bahasa – bahasa yang berlainan dengan tabiat – tabiat bangsa – bangsa penutur itu. Von Humboldt sangat dipengaruhi oleh aliran rasionalisme. Dia menganggap bahasa bukanlah sesuatu yang sudah siap untuk dipotong – potong dan diklasifikasikan seperti aliran empirisme. Menurut Von Humboldt bahasa itu merupakan satu kegiatan yang memiliki prinsip – prinsip sendiri.
Ferdinand de Saussure (1858-1913), pakar linguistik berkembangsaan Swiss, telah berusaha menerangkan apa sebenarnya bahassa itu (linguistik) dan bagaimana keadaan bahasa itu dalam otak (psikologi). Beliau memperkenalkan tiga istilah tentang bahasa yaitu langage (bahasa pada umumnya yang bersifat abstrak), langue (bahasa tertentu yang bersifat abstrak), dan parole (bahasa sebagai tuturan yang bersifat konkret). Dia menegaskan objek kajian linguistik adalah langue., sedangkan objek kajian psikologi adalah parole. Ini berarti, kalau ingin mengkaji bahasa secara lengkap, maka kedua disiplin, yakni linguistik dan psikologi harus digunakan. Hal ini dikatakannya karena dia menganggap segala sesuatu yang ada dalam bahasa itu pada dasarnya bersifat psikologis.
Edward Sapir (1884-1939), pakar linguistik dan antropologi bangsa Amerika, telah mengikutsertakan psikologi dalam pengkajian bahasa. Menurut Sapir, psikologi dapat memberikan dasar ilmiah yang kuat dalam pengkajian bahasa. Beliau juga mencoba mengkaji hubungan bahasa (linguistik) dengan pemikiran (psikologi). Dari kajian itu beliau berkesimpulan bahwa bahasa, terutama strukturnya, merupakan unsur yang menentukan struktur pemikiran manusia. Beliau juga menekankan bahwa linguistik dapat memberikan sumbangan yang penting kepada psikologi Gestalt, dan sebaliknya psikologi Gestalt dapat membantu disiplin linguistik.

b.      Linguistik dalam Psikologi
Dalam sejarah perkembangan psikologi ada sejumlah pakar psikologi yang menaruh perhatian pada linguistik. John Dewey (1859-1952), pakar psikologi berkebangsaan Amerika, seorang empirisme murni. Beliau telah mengkaji bahasa dan perkembangannya dengan cara menafsirkan analisis linguistik bahasa kanak – kanak berdasarkan prinsip – prinsip psikologi. Umpamanya, beliau menyarankan agar penggolongan psikologi akan kata – kata yang diucapkan kanak – kanak dilakukan berdasarkan makna seperti yang dipahami kanak – kanak, dan bukan seperti yang dipahami orang dewasa dengan bentuk – bentuk tata bahasa orang dewasa. Dengan cara ini, maka berdassarkan prinsip – prinsip psikologi akan dapat ditentukan hubungan antara kata – kata berkelas adverbia dan preposisi disatu pihak dengan kata – kata berkelas nomina dan adjektiva dipihak lain. Jadi, dengan pengkajian kelas kata berdasarkan pemahaman kanak – kanak kita akan dapat menentukan kecenderungan akal (mental) kanak – kanak yang dihubungkan dengan perbedaan – perbedaan linguistik. Pengkajian seperti ini, menurut Dewey, akan memberi bantuan yang besar kepaada psikologi bahasa pada umumnya.


Watson (1878-1958), ahli psikologi behaviorisme berkebangsaan Amerika. Beliau menempatkan perilaku atau kegiatan berbahasa sama dengan perilaku atau kegiatan lainnya, seperti makan, berjalan, dan melompat. Pada mulanya Watson hanya menghubungkan perilaku berbahasa yang implisit, yakni yang terjadi didalam pikiran, dengan yang eksplisit, yakni yang berupa tuturan. Namun, kemudian dia menyamakan perilaku berbahasa itu dengan teori stimulus-respons yang dikembangkan oleh Povlov. Maka, penyamaan ini memperlakukan kata – kata sama dengan benda – benda lain sebagai respons dari suatu stimulus.
            Weiss, ahli psikolodi behaviorisme Amerika. Beliau mengakui adanya aspek mental dalm bahasa. Namun, karena wujudnya tidak memiliki kekuatan bentuk fisik, maka wujudnya itu sukar dikaji atau ditunjukkan. Oleh karena itu, Weiss lebih cenderung mengatakan bahwa bahasa itu sebagai satu bentuk perilaku apabila seseorang menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya. Weiss adalah salah seorang tokoh yang terkemuka yang telah merintis jalan kearah lahirnya psikolinguistik. Karena dialah yang telah berhasil mengubah Bloomfield dari penganut aliran mentalistik menjadi penganut aliran behaviorisme. Weiss juga telah mengemukakan sejumlah masalah yang harus dipecahkan oleh linguistik dan psikologi yang dilihat dari sudut behaviorisme. Di antara masalah – masalah itu adalah sebagai berikut :
  1. Bahasa  merupakan satu kumpulan respons yang jumlahnya tidak terbatas terhadap suatu stimulus.
  2. Pada dasarnya perilaku bahasa menyatukan anggota suatu masyarakat ke alam organisasi gerak saraf.
  3. Perilaku bahasa adalah sebuah alat untuk mengubah dan meragam-ragamkan kegiatan seseorang sebagai hasil warisan dan hasil perolehan.
  4. Bahasa dapat merupakan stimulus terhadap satu respons, atau merupakan satu respons terhadap satu stimulus.
  5. Respons bahasa sebagai satu stimul pengganti untuk benda dan keadaan yang sebenarnya memungkinkan kita untuk memunculksn kembali suatu hal yang pernah terjadi, dan menganalisis kejadian ini dalam bagian – bagiannya.
c.       Kerjasama Psikologi dan Linguistik
Kerjasama secara langsung antara linguistik dan psikologi sebanarnya sudah dimulai sejak 1860 yaitu, oleh Heyman Steintthal, seorang ahli psikologi yang beralih menjadi ahli linguistik, dan Moriz Lazarus seorang ahli linguistik yang beralih menjadi ahli psikologi dengan menrbitkan sebuah jurnal yang khusus membicarakan masalh psikologi bahasa dari sudut linguistik dan psikologi.
Dasar – dasar psikolinguistik menurut beberapa pakar didalam buku yang disunting oleh Osgood dan Sebeok diatas adalah berikut ini :
  1. Psikolinguistik adalah satu teori linguistik berdasarkan bahasa yang dianggap sebagai sebuah sistem elemen yang saling berhubungan erat.
  2. Psokolinguistik adalah satu teori pembelajaran (menurut teori behaviorisme) berdasarkan bahasa yang dianggapnsebagainsatu sistem tabiat dan kemampuan yang menghubungkan isyarat dengan perilaku.
  3. Psikolinguistik adalah satu teori informasi yang menganggap bahasa sebagai sebuah alat untuk menyampaikan suatu benda.
d.      Tiga Generasi dalam Psikolinguistik

1.      Psikolinguistik Generasi pertama
Psikolinguistik generasi pertama adalah psikolinguistik dengan para pakar yang menulis artikel dalam kumpulan karangan berjudul psycholinguistics: A Survey of Theory and Reserch Problems yang disunting oleh Charles E. Osgood dan Thomas A. Sebeok. Titik pandang Osgood dan Sebeok berkaitan erat dengan aliran behaviorisme (aliran perilaku) atau lebih tepat lagi aliran neobehaviorisme. Teori – teori ini mengidentifikasikan bahasa sebagai stu sistem respon yang langsung dan tidak langsung terhadap stimulus verbal dan nonverbal. Orientasi stimulus respons ini adalah orientasi psikologi.
          Tokoh lain dari generasi pertama ini adalah L. Bloomfield. Beliau adalah tokoh linguistik Amerika yang menerima dan menerapkan teori – teori behaviorisme dalam analisis bahaa. Teknik analisis bahasa dan pandangannya tentang hakikat bahasa sama dengan pandangan dan teori psikolinguistik perilaku.
Manusia yang normal sejak lahir telah dilengkapi dengan kemampuan belajar. Oleh sebab itu, kemampuan berbahasa didapat atau dicapai melalui proses belajar. Hal ini menunjukkan bahwa itu harus dipelajari. Dengan kata lain, kemampuan berbahasa adalah satu kemampuan hasil belajar, dan bukan sebagai sesuatu yang diwarisi.
Tokoh lain dari psikolinguistik generasi pertama, dan yang dianggap sebagai tokoh utama adalah B. F. Skonner. Beliau menjadi tokoh yang kemudian ditentang oleh Noam Chomsky yang menganut aliran kognitif dalam proses berbahasa. Namun, teori – teori Skinner inilah yang dianut oleh teori – teori linguistik aliran Bloomfield.




2.      Psikolinguistik Generasi Kedua
                  Karena pada psikolinguiatik generasi pertama tidak menjawab banyak masalah proses berbahasa, dan teori – teori itu kekurangan daya penjelas, maka diperlukan teori yang lain dalam psikolinguistik. Lahirlah teori –teori psikolinguiatik generasi kedua, dengan dua tokoh utamanya yakni Noam Chomsky dan George Miller.
Menurut Mehler dan Noizet, psikolinguistik generasi kedua telah dapat mengatasi ciri – ciri atomistik dari psikolinguistik Osgood-Sebeok. Psikolinguistik generasi kedua berpendapat bahwa dalam proses berbahasa bukanlah butir – butir bahasa yang diperoleh, melainkan kaidah dan sistem kaidahlah yang diperoleh.

3.      Psikolinguistik Generasi Ketiga
Kelahiran psikolinguistik generasi ketiga ini oleh G. Werstch dalam bukunya Two Problems for the New Psycholinguistics diberi nama New Psycholinguistics. Ciri – ciri psikolinguistik generasi ketiga ini adalah sebagai berikut :
            Pertama, orientasi mereka kepada psikologi, tetapi bukan psikologi perilaku. Mereka berorientasi kepada psikologi seperti yang dikemukakan oleh Fresse dan Al Vallon dari perancis, dan mungkin juga kepada psikologi aktivitas dari Uni Sovyet atau seperti ditekankan oleh G. Werstch bahwa terjadi proses yang serempak dari informasi linguistik dan psikologi.
            Kedua, keterlepasan mereka dari kerangka psikolinguistik kalimat dan keterlibatan dalam psikolinguistik yang berdasarkan situasi dan konteks. Ini berarti, analisis psikolinguistik bbukan lagi menentukan kalimat hubungan antara struktur gramatikal dan kaidah semantik model Noam Chomsky dengan teori generatif transformasinya, tetapi hubungan ini diperluas dengan memperhitungkan situasi dan konteks.
            Ketiga, adanya satu pergeseran dari analisis mengenai proses ujaran yang abstrak ke satu analisis psikologis mengenai komunikasi dan pikiran. Pergeseran dari ujaran yang abstrak ke komunikasi dan pikiran ini dikemukakan oleh J. S. Bruner dalam artikelnya berjudul Frol Communication to Language yang dimuat dalam Cognition tahun 1974-5.


            Ketiga ciri utama dari psikolinguistik generasi ketiga ini menunjukkan telah terjadinya satu peningkatan kualitatif dalam perkembangan psikolinguistik di negara – negara Barat. Namun, menurut Leontive (1981) dibandingkan dengan perkembangan linguistik di Eropa, maka osikolinguistik di Rusia sudah lebih dulu berkembang karena sejak awal psikolinguistik di Rusia telah memperhitungkan jurus komunikasi dan pikiran dalam analisas psikolinguistik.

E. Aliran-aliran Psikolinguistik
1)      Aliran Behavioristik
Teori Behavioristik pertama kali dimunculkan oleh Jhon B.Watson (1878-1958). Dia adalah seorang ahli psikologi berkebangsaan amerika. Dia mengembangkan teori Stimulus-Respons Bond (S – R Bond) yang telah diperkenalkan oleh Ivan P.Pavlov. Menurut teori ini tujuan utama psikologi adalah membuat prediksi dan pengendalian terhadap prilaku, dan sedikitpun tidak ada hubungannya dengan kesadaran. Yang dikaji adalah benda-benda atau hal-hal yang diamati secara langsung, yaitu rangsangan (stimulus) dan gerak balas(respons) [1][1].
Eksperimen yang dilakukan oleh Watson dalam membuktikan kebenaran teori behaviorismenya terhadap manusia adalah percobaan terhadap bayi yang bernama albert berusia 11 tahun dan tikus putih. Dimana kesimpulan akhirnya adalah pelaziman dapat merubah prilaku seseorang secara nyata.
Dalam pembelajaran yang didasarkan pada hubungan stimulus respon, Watson mengemukakan dua hal penting:
1. Recency Principle (prinsip kebaruan)
Yaitu Jika suatu stimulus baru saja menimbulkan respons, maka kemungkinan stimulus itu untuk menimbulkan respons yang sama apabila diberikan umpan lagi akan lebih besar daripada kalau stimulus itu diberikan umpan setelah lama berselang.
2. Frequency Principle (prinsip frekuensi)
Menurut prinsip ini apabila suatu stimulus dibuat lebih sering menimbulkan satu respons, maka kemungkinan stimulus itu akan menimbulkan respons yang sama pada waktu yang lain akan lebih besar.
Selain itu. Watson mengatakan bahwa keyakinan pada adanya kesadaran berkaitan dengan keyakinan masa-masa nenek moyang mengenai tahayul. Magis-magis senantiasa hidup. Konsep-konsep warisan masa praberadab ini telah membuat kebangkitan dan pertumbuhan psikologis ilmiah menjadi sangat sulit. Kriteria Watson dalam menentukan apakah sesuatu itu ada atau tidak ada adalah berdasarkan apakah hal tersebut dapat diamati atau tidak dapat diamati.
Selanjutnya Bell (1981: 24) mengungkapkan pandangan aliran behaviorisme yang dianggap sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimanakah sesungguhnya manusia memelajari bahasa, yaitu:
1. Dalam upaya menemukan penjelasan atas proses pembelajaran manusia, hendaknya para ahli psikologi memiliki pandangan bahwa hal-hal yang dapat diamati saja yang akan dijelaskan, sedangkan hal-hal yang tidak dapat diamati hendaknya tidak diberikan penjelasan maupun membentuk bagian dari penjelasan.
2. Pembelajaran itu terdiri dari pemerolehan kebiasaan, yang diawali dengan peniruan.
3. Respon yang dianggap baik menghasilkan imbalan yang baik pula.
4. Kebiasaan diperkuat dengan cara mengulang-ulang stimuli dengan begitu sering sehingga respon yang diberikan pun menjadi sesuatu yang bersifat otomatis.



2)      Aliran Kognitif
Menurut teori ini bahasa bukanlah suatu ciri ilmiah yang terpisah, melainkan salah satu diantara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Bahasa di instruksikan oleh nalar. Perkembangan bahasa harus berlandaskan pada percobaan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Jadi urutan-urutan perkembnagan kognitif menentukan perkembangan bahasaMenurut teori kognitif yang utama sekali harus dicapai adalah perkembangan kognitif, barulah pengetahuan dapat keluar dalam bentuk keterampilan berbahasa semenjak lahir sampai umur 18 bulan bahasa belum ada, si anak memahami dunia melalui indranya.
Adapun tokoh yang terkenal dengan teori kognitif ini adalah Noam Chomsky menyatakan bahwa manusia dilahirkan dengan akal yang berisi pengetahuan batin yang berkait dengan sejumlah bidang yang berbeda-beda. Salah satu dari pengetahuan tersebut berkait dengan bahasa. Chomsky menyebut pengetahuan batin yang berkait dengan bahasa ini sebagai Language Acquisition Device atau yang lebih populer sebagai LAD, yang dalam modul disebut sebagai Alat Pemerolehan Bahasa atau APB. Chomsky berpendapat bahwa daya-daya dalam bidang yang berbeda yang disebut di atas, relatif mandiri satu sama lain. Artinya tidak saling berkait. Bahkan dalam kaitan dengan pemerolehan bahasa, Chomsky berpendapat bahwa bagi pemerolehan bahasa, pengetahuan batin saja sudah cukup dan pengetahuan matematis serta pengetahuan logika tidak diperlukan dalam kegiatan ini.
Masih menurut Chomsky behaviorisme (S-R), sangat tidak memadai untuk menerangkan proses pemerolejhan bahasa. Sebab masukan data linguistiknya sangat sedikit untuk membangkitkan rumus-rumus linguistic. pada bagian akhir subpokok bahasan diketengahkan argumen-argumen yang dikemukakan Chomsky dalam mempertahankan APB yang tertuang dalam bentuk empat argumen, yakni (1) keunikan tata bahasa, (2) data masukan yang tidak sempurna, (3) ketidakselarasan intelegensi, dan (4) kemudahan dan kecepatan pemerolehan bahasa anak.


3)      Aliran Mentalistik
Pada subpokok bahasan ini, kita telah membahas sejumlah konsep pendapat-pendapat para teorisi mengenai bagaimana seseorang memahami dan merespons terhadap apa-apa yang ada di alam semesta ini. Kita telah berbicara mengenai pandangan-pandangan kaum mentalis dan kaum bahavioris, terutama dalam kaitan dengan keterhubungan antara bahasa, ujaran dan pikiran. Menurut kaum mentalis, seorang manusia dipandang memiliki sebuah akal (mind) yang berbeda dari badan (body) orang tersebut. Artinya bahwa badan dan akal dianggap sebagai dua hal yang berinteraksi satu sama lain, yang salah sati di antaranya mungkin menyebabkan atau mungkin mengontrol peristiwa-peristiwa yang terjadi pada bagian lainnya. Dalam kaitan dengan perilaku secara keseluruhan, pandangan ini berpendapat bahwa seseorang berperilaku seperti yang mereka lakukan itu bisa merupakan hasil perilaku badan secara tersendiri, seperti bernapas atau bisa pula merupakan hasil interaksi antara badan dan pikiran. Mentalisme dapat dibagi menjadi dua, yakni empirisme dan rasionalisme.
Kedua pendapat ini pun memiliki pandangan-pandangan yang berbeda dalam memahami persoalan gagasan-gagasan batin atau pengetahuan. Semua kaum mentalis bersepakat mengenai adanya akal dan bahwa manusia memiliki pengetahuan dan gagasan di dalam akalnya. Meskipun demikian, mereka tidak bersepakat dalam hal bagaimana gagasan-gagasan tersebut bisa ada di dalam akal. Apakah gagasan-gagasan tersebut seluruhnya diperoleh dari pengalaman (pendapat kaum empiris) atau gagasan-gagasan tersebut sudah ada di dalam akal sejak lahir (gagasan kaum rasional). Bahkan di dalam kedua aliran ini pun, terdapat perbedaan pendapat yang rinciannya akan kita bahas nanti.
Kemudian, diketengahkan pembahasan mengenai empirisme. Dalam kaitan ini telah dibahas kenyataan bahwa kata empiris dan empirisme telah berkembang menjadi dua istilah yang memiliki dua makna yang berbeda. Setelah itu, dibahas pula isu lain yang mengelompokkan kaum empiris, yakni isu yang berkenaan dengan pertanyaan apakah gagasan-gagasan di dalam akal manusia yang membentuk pengetahuan bersifat universal atau umum di samping juga bersifat fisik.



PENUTUP
  1. Kesimpulan
Teori/Aliran Behavioristik tujuan utama psikologi adalah membuat prediksi dan pengendalian terhadap prilaku, dan sedikitpun tidak ada hubungannya dengan kesadaran. Yang dikaji adalah benda-benda atau hal-hal yang diamati secara langsung, yaitu rangsangan (stimulus) dan gerak balas(respons)
Teori Kognitif berpandangan Menurut teori ini bahasa bukanlah suatu ciri ilmiah yang terpisah, melainkan salah satu diantara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif
Kaum mentalis berpendapat seorang manusia dipandang memiliki sebuah akal (mind) yang berbeda dari badan (body) orang tersebut. Artinya bahwa badan dan akal dianggap sebagai dua hal yang berinteraksi satu sama lain,










DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta:  PT Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2010. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa
              Manusia.   Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Mar’at, Samsunuwiyati. 2009. Psikolingustik Suatu Pengantar. Jakarta: Refika Aditama.
[1] http://massofa.wordpress.com/2008/01/24/menengok-bahasan-psikolinguistik/ OLEH PAKDE SOFA
http.//www.scrib.com



























B.     Bahasa dan Berbahasa
            Bahasa dan berbahasa, adalah dua hal yang berbeda. Bahasa adalah alat verbal yang digunakan untuk berkomunikasi, sedangkan berbahasa adalah proses penyampaian informasi dalam berkomunikasi itu. Pada bagian awal telah dikatakan bahwa bahasa adalah objek kajian linguistik, sedangkan berbahasa adalah objek kajian psikologi.
            Para pakar linguistik deskriptif biasanya mendenifisikan bahasa sebagai satu sistem lambang bunyi yang bersisaf arbitrer. Yang kemudian lazim ditambah dengan yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan menidentifikasikan diri. (Chaer,1994).
            Bagian pertama definisi diatas menyatakan bahwa bahasa itu adalah satu sistem, sama dengan sistem – sistem lain, yang sekaligus berifat sistematis dan bersifat sistemis. Jadi, bahasa itu bukan merupakan satu sistem tunggal melainkan dibangun oleh sejumlah subsistem (subsistem fonologi, sintaksis, leksikon). Sistem bahasa ini merupakan sistem lambang, sama dengan sistem lambang lalu lintas, atau sistem lambang lainnya. Hanya, sistem lambang bahasa ini adalah bunyi, bukan gambar atau tanda lain, dan bunyi adalah bunyi bahasa yang dilahirkan oleh alat ucap manusia. Sama dengan lambang lain. Sistem lambang bahasa ini juga bersifat atbitrer. Artinya, antara lambang yang berupa bunyi itu tidak memiliki hubungan wajib dengan konsep yang dilambangkannya.
            Bahasa dilihat dari segi sosial yaitu, bahwa bahasa itu adalah alat interaksi atau alat komunikasi didalam masyarakat. Tentu saja konsep linguiatik ddeskriptif tentang bahasa itu tidak lengkap, sebab bahasa bukan hanya alat interaksi sosial, melainkan juga memiliki fungsi dalam berbagai bidang lain. Oleh karena itu psikologi, antripologi, etnologi, neurologi, dan filologi juga menjadikan bahasa sebagai salah satu objek kajiannya dari sudut atau segi yang berbeda – beda.

a.      Gangguan Berbahasa
            Manusia yang normal fungsi otak dan alt bicaranya, tentu dapat berbahasa dengan baik. Namun, meraka yang memiliki kelainan fungsi otak dan alat berbicaranya, tentu mempunyai kesulitan dalam berbahasa, baik produktif mauoun reseptif. Jadi, kemempuan berbahasanya terganggu.
            Gangguan berbahasa ini secara garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu :
1.       Gangguan akibat faktor medis, adalah gangguan baik akibat gangguan otak maupun akibat kelainan alat – alat bicara.
2.       Gangguan akibat faktor lingkungan sosial, adalah lingkungan kehidupan yang tidak alamiah manusia, seperti tersisih atau terisolasi dari lingkungan kehidupan masyarakat manusia yang sewajarnya.
Secara medis menurut Sidharta (1984) gangguan berbahasa dapat dibedakan atas tiga golongan, yaitu :
   Gangguan berbicara
  Gangguan berbahasa
  Gangguan berpikir
Ketiga gangguan ini masih dapat diatasi kalau penderita gangguan itu mempunyai daya dengar yang normal, bila tidak tentu menjadi sukar atau sangat sukar.

b.      Gangguan Berbicara
            Berbicara merupakan aktivitas motorik yang mengandung modalitas psikis. Oleh karena itu, gangguan berbicara ini dapat dikelompokan ke dalam dua kategori, yaitu :

1.      Gangguan Mekanisme Berbicara
                  Mekanisme berbicara adlah suatu proses produksi ucapan (perkataan) oleh kegiatan terpadu dari pita suara, lidah, otot – otot yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan, dan paru – paru. Maka gangguan berbicara berdasarkan mekanismenya ini dapat dirinci menjadi gangguan berbicara akibat kelainan pada paru – paru (pulmonal), pada pita suara (laringal), pada lidah (lingual), dan pada rongga mulut dan kerongkongan (resonantal).
     Gangguan Akibat Faktor Pulmonal
Gangguan berbicara ini dialami oleh para penderita penyakit paru – paru. Para penderita penyakit paru – paru ini kekuatan bernafasnya sangat kurang, sehingga cara berbicaranya diwarnai oleh nada yang monoton, volume suara yang kecil sekali, dan berputus – putus, meskipun dari semantik dan sintaksis tidak ada masalah.
     Gangguan Akibat Faktor Laringal
Gangguan pita suara menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi serak atau hilang sama sekali. Gangguan berbicara akibat faktor laringal ini ditandai oleh suara yang serak atau hilang, tanpa kelainan semantik dan sintaksis. Artinya, dilihat dari segi semantik dan sintaksis ucapannya bisa diterima.
     Gangguan akibat Faktor Lingual
Lidah yang sariawan atau terluka akan terasa pedih kalau digerakkan. Untuk mencegah timbulnya rasa padih ini ketika berbicara maka gerak aktivitas lidah itu dikurangi secara semaunya. Dalam keadaan sepperti ini maka pengucapan sejumlah fonem menjadi tidak sempurna. Pada orang yang terkena stroke dan badannya lumpuh sebelah maka lidahnya pu lmpauk sebelah. Oleh karena itu, cara berbicaranya juga akan terganggu, yaitu menjadi pelo atau cadel. Istilah medisnya disatria (yang berarti tergangguanya artikulasi).
     Gangguan Akibat Faktor Resonansi
Gangguan akibat faktor resonansi ini menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi bersengau. Pada orang sumbing, misalnya, suaranya menjadi bersengau (bindeng) karena rongga mulut dan rongga hidung yang digunakan untuk berkomunikasi melalui defek di langit – langit keras (palatum), sehingga resonansi yang seharusnya menjadi terganggu. Hal ini trjadi juga pada orang yang mengalami kelumpuhan pada langit – langit lunak (velum). Rongga langit – langit itu tidak memberikan resonansi yang seharusnya, sehingga suarnya menjadi besengau. Penderita penyakit miastenia gravis (gangguan yang menyebabkan otot menjadi lemah dan cepat lelah) sering dikenali secara langsung karena kengauan ini.

2.      Gangguan Akibat Multifaktorial
Akibat gangguan multifaktorial atau berbagai faktor bisa mnyebabkan terjadinya berbagai gangguan berbicara. Antara lain adalah :
     Berbicara Serampangan
Berbicara serampangan atau sembrono adalah berbicara denga cepat sekali, dengan artikulasi yang rusak, ditambah dengan menelan sejumlah suku kata, sehingga apa yang di ucapkan sukar dipahami. Dalam kehidupan sehari – hari kasus ini memang jarang dijumpai, tetapi di dalam praktek kedokteran sering ditemui. Umpamanya kalimat ”kemarin pagi saya sudah beberapa kali ke sini ” diucapkan dengan cepat menjadi ”kemary sdada brali ksni”. Berbicara serampangan ini karena kerusakan di serebelum atau bisa jug terjadi sehabis terkena kelumpuhan ringan sebelah badan.
    Berbicara Propulsif
Gangguan berbicara propulsif biassanya terdapat pada para penderita penyakit parkinson (kerusakan pada otak yang menyebabkan otot menjadi gemetar, kaku, dan lemah). Para penderita penyakit ini biasanya bermasalah dalam melakukan geraka – gerakan. Mereka sukar sekali untuk memulai suatu gerakan. Namun, bila sudah bergerak maka ia dapat terus – menerus tanpa henti. Gerak yang laju terus itu disebut propulsi. Pada waktu berbicara ciri khas ini akan tampak pula. Artikulasi sangat terganggu karena elastisitas otot lidah, otot wajah, dan pita suara, sebagaian besar lenyap. Dalam pada itu volume suaranya kecil, iramanya datar (monoton). Suaranya mula – mula tersendat – sendat, kemudian terus – menerus, dan akhirnya tersendat – sendat kembali. Oleh karena itu, cara berbicara seperti ini disebut prupilsif.
     Berbicara Mutis (Mutisme)
Penderita gangguan mutisme ini tidak berbicara sama sekali. Sebagian dari meraka mungkin dapat dianggap membisu, yakni memang sengaja tidak mau berbicara. Mutisme ini sebenarnya bukan hanya tidak dapat berkomunikasi secara verbal saja, tetapi juga tiak dapat berkomunikasi secara visual maupun isyarat, seperti dengan gerak – gerik dan sebagainya.
Mutisme tidak bisa disamakan dengan orang bisu, apalagi dengan bisu – tuli. Dalam hal kebisuan ini sebenarnya perlu dibedakan adnya tiga macam penderita. Pertama, orang yang bisu karena kerusakan ataua kelainan alat artikulasi, sehingga dia tidak bisa memproduksi ujaran-bahasa, tetapi alat dengarnya normal sehingga dia dapat mendengar suara-bahasa orang lain. Kedua, orang yang bisu karena kerusakan atau kelainan alat artikulasi dan alat pendengarnya, sehingga dia tidak bisa memproduksi ujaran-bahasa dan juga tidak bisa mendengar ujaran-bahasa orang lain. Ketiga, orang bisu yang sebenarnya alat artikulasinya normal tidak ada kelainan, tetapi alat pendengarannya rusak atau ada kelainan. Orang golongan ketiga iini menjadi bisu karena dia tidak pernah mendengar ujaran-bahasa orang lain, sehingga dia tidak bisa menirukan ujaran-bahasa itu.

3.      Gangguan Psikogenik
                  Ganguan berbicara psikogenik ini sebenarnya tidak bisa disebut sebagai suatu gangguan berbicara. Mungkin lebih tepat disebut sebagai variasi cara berbicara yang normal, tetapi yang merupakan ungkapan dari gangguan di bidang mental. Modalitas mental yang terungkap oleh cara berbicara sebagaian besar ditentukan oleh nada, inotonassi, dan intensitas suara, lafal, dan pilihan kata. Ujaran yanng berirama lancar atau tersendat –sendat dapat juga mencerminkan sikap mental si pembicara. Gangguan berbicara psikogenetik ini antara lain sebagai berikut :
w  Berbicara Manja
            Disebut berbicara manja karena ada kesan anak (orang) yang melkaukanya meminta perhatian untuk dimanja. Umpamanya kanak yang baru terjatu, terluka, atau mendapat kecelakaan, terdengar adanya perubahan pada cara berbicaranya. Fonem atau bunyi [s] dilafalkan sebagai bunyi [c] sehinga kalimat ”saya sakit, jadi tidak suka makan, sudah saja ya” akan diucapkan menjadi ”caya cakit, jadi tidak cuka makan, cudah saja ya”. Dengan berbicara demikian dia mengungkapkan keinginannya untuk dimanja. Gejala seperti ini kita dapati juga pada orang tua pikun atau jompo (biasanya wanita). Gejala ini memberikan kesan bahwa struktur bahasa memiliki substrat serebral. Namun, bagaimana struktur organisasinya belum diketahui dengan jelas. Masih dalam penelitian.
w  Berbicara Kemayu
                  Berbicara kemayu berkaitan dengan perangai kewanitaan yang berlebihan. Jika seorang pria bersifat atau bertingkah laku kemayu jelas sekali gambaran yang dimaksudkan oleh istilah tersebut. Berbicara kemayu dicirikan oleh gerak bibir dan lidah yang menarik perhatian dan lafal yang dilakukan secara ekstra menonjok atau ekstra lemah gemulai dan ekstra memanjang. Meskipun berbicara seperti ini bukan suatu gangguan ekspresi bahasa, tetapi dapat dipandang sebagai sindrom fonologik yang mengungkapakan gangguan identitas kelamin terutama jika yang dilanda adalah kaum pria.
w  Berbicara Gagap
            Gagap adalah berbicara yang kacau karena sering tersendat – sendat, mendadak berhenti, lalu mengulang – ulang suku kata pertama, kata – kata berikutnya, dan setelah berhasil mengucapkan kata – kata itu kalimat dapat diselesaikan. Acapkali si pembicara tidak berhasil mengucapkan suku kata awal, hanya dengan susah payah berhasil mengucapkan konsonan atau vokal awalnya saja. Lalu dia memilih kata lain, dan berhasil menyelesaikan kalimat tersebut meskipun dengan susah payah juga. Dalam usahanya mengucapkan kata pertama yang barangkali gagal, si pembicara menampakkan rasa letih dan rasa kecewanya. Beberapa hal dianggap mempunyai peranan dalam menyebabkan terjadinya kegagapan, yaitu :
§  Faktor – faktor stres dalam kehidupan berkeluarga
§  Pendidikan anak yang dilakukan secara keras dan ketat, dengan membentak-bentak, serta tidak mengizinkan anak berargumentasi dan membantah.
§  Adanya faktor kerusakan pada belahan otak yang dominan
§  Faktor neurotik famial

w  Berbicara Latah
            Latah sering disamakan dengan ekolalla, yaitu perbuatan membeo atau menirukan apa yang dikatakan orang lain, tetapi sebenarnya latah adalah sindrom yang terdiri atas curah verbal repetitif yang bersifat jorok (kaprolalla) dan gangguan lokomotorik yang dapat dipancing. Kaprolalla pada latah ini beroriantaasi pada alat kelaminlaki – laki. Yang sering dihinggapi penyakit latah adalah orang perempuan berumur 40 tahun ke atas. Awal mula timbulnya latah ini, menurut mereka yang terserang latah, adalah setelah bermimpi melihat banyak sekali penis lelaki besar dan sepanjang belut. Latah ini punya cuse atau alasan untuk dapat berbicara dan bertingkah laku porno, yang hakikatnya berimplikasi invitasi seksual.
w  Gangguan Berbahasa
            Berbahasa, berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa. Untuk dapat berbahasa diperlukan kemampuan mengeluarkan kata – kata. Ini berarti, daerah Broca dan Wernicke harus berfungsi dengan baik. Kerusakan pada daerah tersebut dan sekitarnya menyebabkan terjadinya gangguan bahasa yang disebut afasia.
a.           Afasia Motorik Kortikal
Tempat menyimpan sandi – sandi perkataan adalah di korteks daerah Broca. Maka apabila gudang penyimpanan itu musnah, tidak akan ada lagi perkataan yang dapat dikeluarkan. Jadi, afasia motorik kortikal ini masih bisa mengerti bahasa lisan dan bahasa tulisan. Namun, ekspresi verbal tidak bisa sama sekali, sedangkan ekspresi visual masih dilakukan.
b.          Afasia Motorik Subkortikal
            Sandi – sandi perkataan disimpan di lapisan permukaan daerah Broca, maka apabila kerusakan terjadi pada bagian bawahnya semua perkataan masih tersimpan utuh di dalam gudang. Namun, perkataan itu tidak dapat dikeluarkan karena hubungan terputus, sehingga perintah untuk mengeluarkan perkataan tidak dapat disampaikan. Melalui jalur lain tampaknya perintah untuk mengeluarkan perkataan masih dapat disampaikan ke gudang penyimpanan perkataan itu (gudang Broca) sehingga ekspresi verbal masih mungkin dengan mengeluarkan isi pikirannya dengan menggunakan perkataan, tetapi masih bisa mengeluarkan perkataan dengan cara membeo. Selain itu, pengertian bahasa verbal dan visual tidak terganggu, dan ekspresi visual pun berjalan normal.
c.           Afasia Motorik Transkortikal
            Afasia motorik trankortikal terjadi karena terganggunya hubungan antara daerah Broca dan Wernicke. Ini berarti, hubungan langsung antara pengertian dan ekspresi bahasa terganggu. Pada umumnya afasia motorik transkortikal ini merupakan lesikortikal yang merusak sebagian daerah Broca. Jadi, penderita afasia motorik transkortikal dapat mengutarakan perkataan yang singkat dan tepat, tetapi masih mungkin menggunakan perkataan substitusinya.
            Semua penderita afasia motorik jenis apapun bersikap tidak berdaya, karena keinginan untuk mengutarakan isi pikirannya besar sekali, tetapi kemampuan untuk melakukannya tidak ada sama sekali. Mereka pun sering jengkel karena apa yang diekspressikantidak dipahami sama sekali oleh orang disekelilingnya, padahal untuk menghasilkan curah verbal yang tidak dipahami itu, mereka sudah berusaha keras.



d.      Afasia Sensorik
            Penyebab terjadinya afasia sensorik adalah akibat adanya kerusakan pada lesikortikal didaerah Wernicke pada hemisferium yang dominan. Daerah itu terletak di kawasan asosiatif antara daerah visual, daerah sensorik, daerah motorik, dan daerah pendengaran. Keruskan di daerah Wernicke ini menyebabkan bukan saja pengertian dari apa yang dilihatikut terganggu. Jadi, penderita afasia sensorik ini kehilangan pengertian bahasa lisan dan bahasa tulis. Namun, diamasih memiliiki curah verbal meskipun hal ini tidak dipahami oleh dirinya sendiri, maupun oleh orang lain.
            Curah verbalnya itu merupakan bahasa baru (neologisme) yang tidak dipakami oleh siapapun. Curah verbalnya itu sendiri terdiri dari kata – kata, ada yang mirip, ada yang tepat dengan perkataan suatu bahasa., tetapi kebanyakan tidak sama atau sesuai dengan perkataan bahasa apa pun.
            Neologismenya itu diucapkannya dengan irama, nada, dan melodi yang sesuai dengan bahasa asing yang ada. Sikap mereka pun wajar – wajar saja, seakan – akan dia berdialog dalam bahasa yang saling dimengerti. Dia bersikap biasa, tidak tegang, marah, atau depresi. Sesungguhnya apa yang diucapkannya maupun apa yang didengarnya keduanya sama sekali tidak dipahaminya.

4.      Gangguan Berpikir
            Dalam sosiolinguistik ada dikatakan bahwa setisp orang mempunyai kecenderungan untuk menggunakan perkataan – perkataan yang disukainya sehingga corak bahasanya adalah khas bagi dirinya. Hal ini dalam sosiolinguistik disebut idiolek, atau ragam bahasa perseorangan.
Dalam memilih dan menggunakan unsur leksikal, sintaksis, dan semantik tertentu seseotang menyiratkan afeksi dan nilai pribadinya pada kata – kata dan kalimat – kalimat yang dibuatnya. Hal ini berarti, setiap orang memproyeksikan kepribadiannya pada gaya bahasanya. Lalu kalau diingat bahwa ekspresi verbal merupakan pengutaraan isi pikiran, maka yang tersirat dalam gaya bahasa tentu adalah isi pikiran itu. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa ekspresi verbal yang terganggu bersumber atau disebabkan oleh pikiran yang terganggu pikiran berupa hal – hal berikut :

a.      Pikun (Demensia)
            Orang yang pikun menunjukkan bnyak sekali gangguan seperti agnosia, apraksia, amnesia, perubahan kepribadian, perubhan perilaku, dan kemunduran dalam segala macam fungsi intelektual. Semua gangguan itu menyebabkan kurangnya berfikir, sehingga ekspresi verbalnya diwarnai dengan kesukaran menemukan kata – kata yang tepat. Kalimat seringkali terputus karena arah pembicaraan tidak teringat atau tidak diketahui lagi, sehingga berpindah ke topik lain.
            Dr. Martina Wiwie S. Nasrun mengtakan bahwa kepikunan atau demensia adalah suatu penurunan fungsi memori atau daya ingat dan daya pikir lainnya yang dari hari ke hari semakin buruk. Gangguan kognitif ini meliputi tergangguanya ingatan jangka pendek, kekeliruan mengetahui tempat, orang, dan waktu. Juga gangguan kelancaran bicara.
            Penyebab pikun ini antara lain karena terganggunya fungsi otak dalam jumlah besar, termasuk menurunnya jumlah zat – zat kimia dalam otak. Biasanya volime otak akan mengecil atau menyusut, sehingga rongga – rongga dalam otak melebar. Selai itu dapat pula disebabkan oleh penyakit seperti stroke, tumor otak, depresi dan gangguam sistemik. Pikun yang disebabkan oleh depresi dan gangguan sistemik dapat pulih kembali, tetapi kebanyakan kasus demensia lainnya tidak dapat kembali ke kondisi sebelumnya.


b.      Sisofrenik
            Sisofrrenik adalah gangguan berbahasa akibat gangguan berpikir. Dulu pada para penderita sisofrenik kronik juga dikenal istilah schizophrenik word salad. Para penderita ini dapat mengucapkan word salad ini dengan lancar. Dengan volume yang cukup, ataupun lemeh sekali. Curah verbalnya penuh dengan kata – kata neologisme. Irama serta intonasinya menghasilkan curah verbal yang melodis.
            Penderita sisifrenia dapat berbicara terus – menerus. Ocehanya hanya merupakan ulangan curah verbal semula dengan tambahan sedikit – sedikit atau dikurangi beberapa kalimat. Gya bahasa sisifren dapat dibedakan dalam beberapa tahap dan menurut berbagai kriteria. Yang utama adalah diferensiasi dalam gaya bahasa sisofrenia halusinasi dan pasca halusinasi.
Sebelum diganggu halisinasi, bahasa para penderita sisofrenik ini tampak terganggu. Pada tahap awal penderita sisofrenia ini mengisolasi pikirannya. Tidak banyak berkomunikasi dengan dunia luar, tetapi banyak berdialog dengan diri sendiri. Ekspresi verbal terbatas, tetapi kegiatan dalam dunia bahasa internal (berbahasa dalam pikiran diri sendiri)sangat ramai. Oleh karena itu, gangguan ekspresi verbal sisofrenia tahap awal ini menyerupai mutisme efektif.

c.       Depresif
            Orang yang tertekan jiwanya memproyeksikan penderitaannya pada gaya bahasanya dan makna curah verbalnya. Volume curah verbalnya lemah lembut dan kelancarannya terputus – putus oleh interval yang cukup panjang. Namun, arah arus isi pikiran tidak terganggu. Kelancaran bicaranya terputus oleh tarikan nafas dalam, serta pelepasan napas keluar yang panjang. Perangai emosional yang terasosiasi dengan depresi itu adalah universal. Curah verbal yang depresif dicoraki oleh topik yang menyedihkan, menyalahi dan mengutuk diri sendiri, kehilangan gairah bekerja dan gairah hidup, tidak mampu menikmati kehidupan. Malah cenderung mengakhirinya.

d.      Gangguan Lingkungan Sosial
            Yang dimaksud dengan faktor lingkungan adalah terasingnya seorang anak manusia, yang aspek biologis bahasanya normal dari lingkungan kehidupan manusia. Keterasingannya bisa disebabkan karena diperlakkukan dengan sengaja (sebagai eksperimen) bisa juga karena hidup bukan dalam alam lingkungan manusia, melainkan dipelihara oleh binatang serigala, seperti kasus Kamala dan Mougli.
            Anak terasing tidak sama dengan kasus anak tuli. Anak tuli masih hidup dalam masyarakat  manusia. Maka, meskipun dia terassing dari kontak bahasa, tetapi dia masih dapat berkomunikasi dengan orang disekitarnya. Sedangkan anak terasing menjadi tidak bisa berkomunikasi dengan manusia karena dia tidak pernah mendengar suara-ujaran manusia. Beda antara anak terasing yang tidak pernah mendengar suara orang dan anak tuli adalah bahwa anak tuli dirugikan karena tidak bisa mendengar suaranya sendiri maupun suara orang lain. Suara – suaranya sendiri hanya bisa dirasakan sebagai gerak – gerak urat dan otot ddaging mulut. Suara anak tuli tidak seberapa kuat jika dibandingkan dengan anak yang tidak tuli. Suara – suara anak tuli lekas sekali berhenti, meskipun ia tetap mampu merasakan gerakan mulut dan suara – suaranya waktu sedang mengeluarkan suara itu. Dia merassakan gerak mulut itu karena adanya rasa akan getaran – getaran organ – organ pembentuk suara, atau karena dia melihat gerak mulut oranng lain dan lalu dia menirukannya. Pada anak tuli ini tidak ada cukup motivasi agar suara – suaranya bisa berkembang. Hal ini berbeda dengan anak normal yang tercerai dari masyarakat. Dia dapat mengeluarkan suaranya, tetapi ia tidak pernah mendengar suara 9perkataan) orang dari sekeliling anak itu sangat berperan dalam mengembangkan kemampuan berbicara. Tanpa mendengar suara-bahasa orang sekeliling tidak mungkin kemampuan berbahasa dapat berkembang. Jadi anak terasing karena tidak ada orang yang mengajak dan diajak berbicara, tidak mungkin dapat berbahasa. Karena dia sama sekali terasing dari kehidupan sodial masyarakat, maka dengan cepat ia menjadi sama sekali tak dapat berbahasa. Otaknya menjadi tidak lagi berfungsi secara manusiawi karena tidak ada yang membuatnya atau memungkinkannya berfungsi demikian. Maka, sebenarnya anak terasing, yang tidak punya kontak dengan manusia, bukan lagi manusia, sebab manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Meskipun bentuk badannya adalah manusia tetapi dia tidak bermatabat sebagai manusia. Otaknya tidak berkembang sepenuhnya, tidak dapat berfungsi dalam masyarakat manusia, dan akhirnya menjadi tidak mampu sebagai manusia setelah beberapa tahun. Anak terasing tidak sama dengan anak primitif, sebab orang primitif masih hidup dalam suatu masyarakat. Meskipun taraf kebudayaannya sangat rendah, tetapi tetap dalam suatu lingkungan sosial. Kanak – kanak mempunyai segala kemungkinan untuk menjadi manusia hanya selama masa kanak – kanak, selepas umur tujuh tahun anak itu tak dapat dididik untuk mempelajari kebudayaan yang lebih tinggi.
            Dalam sejarah tercatat sejumlah kasus anak terasing, baik yang diasuh oleh hewan (serigala) maupun yang teraasingkan oleh keluarganya, berikut akan dikemukakan dua contoh kasus:
1.      Kasus Kamala
            Ketika baru ditemukan Kamala diperkirakan berumur 8 tahun, dan adiknya berumur 2 tahun. Kamala masih hidup sampai 9 tahun kemudian sedangkan adiknya tak lama ditemukan meninggal. Karena hidup di tengah serigala, ia sangat mirip dengan serigala. Ia berlari cepat sekali dengan kedua kaki dan tangan, mengaum-aum, lebih sering bergaul dengan serigala, tidak bercakap satu patah kata pun, dan tidak terlihat adanya mimik emosi di wajahnya. Sangat sukar untuk mengajar dia berdiri, berjalan, menggunakan tangan, apalagi bercakap – cakap. Dia mencium – cium, dan mengendus – endus makanan. Dia memeriksa segala sesuatu dengan alat penciuman, mempunyai penglihatan malam yang tajam, dan memiliki pendengaran yang tajam pula. Dia tidak tersenyum maupun tertawa.
            Hidup ditengah binatang membuat manusia bukan manusia lagi. Namun, hal ini membuktikan kemampuan anak manusia dapat menyelaraskan diri hidup dengan serigala secara mengagumkan. Berbeda halnya dengan binatang yang dijinakkan dan dimanusiakan, binatang tetap tidak dapat mempelajari bahasa yang sebenarnya.
            Tingkat kecerdasan Kamala tidak diketahui hingga dia meninggal, sebab dia tidak pernah dites dengan tes – tes objektif yang memungkinkan kita mengetahui apakah kecerdasan praktis Kamala yang terbahasakan itu lebih tinggi atau tidak dari kecerdasan seorang anak yang tidak bercakap atau dari seekor kera. Namun, bagaimana pun Kamala tidak lagi mempunyai pikiran yang sebenarnya, pikiran yang reflektif.

2.      Kasus Genie
            Kalau Kamala terasing dari masyarakat manusia, dan lalu dipelihara atau dibesarkan di tengah – tengah serigala, maka Genie tetap berada dalam asuhan orang tuanya, tetapi dengan cra yang terlepas dari kehidupan manusia yang wajar. Sejak berusis 20 bulan sampai berusia 13 tahun 9 bulan Genie hidup terkucil dalam ruang yang sempit dan gelap dalam posisi duduk dan kaki terikat. Pintu ruangan itu selalu tertutup dan jendela berkelambu tebal. Tidak ada radio atau televisi dirumah itu, dan ayahnya membenci suara apapun. Ayahnya tidak mengizinkannya mendengar suara apa pun, dia akan dihukum secara fisik bila membuat suara. Satu –saatunya orang yang sering ditemuinya adalah ibunya. Namun, si ibu pun dilarang untuk tinggal lama – lama dengan Genie saat memberinya makan. Tanpa berbicara apa – apa si ibu memberi makan Genie dengan selalu tergesa – gesa.
            Ketika ditemukan tahun 1970, Genie berada dalam kondisi yang kurang terlibat secara sosial, primitif, terganggu secara emosional, dan tak dapat berbahasa (berbicara). Dia dikirim ke rumah anak – anak Los Angeles dengan diagnosis awal sebagai anak yang menderita kurang gizi yang parah.
            Pertama kali mendapat perawatan Genie tidak mampu menggunakan bahasa. Namun, dari evaluasi perawatan bulan – bulan pertama didapat kesimpulan bahwa Genie adalah anak yang terbelakang, tetapi perilakunya tidak seperti anak lemah mental. Meskipun dia mengalami gangguan secara emisional, tetapi dia tidak mengalami gangguan fisik atau mental yang dapat memperkuat ketrbelakangannya. Jadi, keterbelakangannya adalah karena lamanya tekanan psikososial dan fisik yang dialaminya.
            Kemampuan berbahasa Genie, yang jelas ketika ditemukan dia tidak dapat berbicara, meskipun telah berumur hampir 14 tahun. Untuk mengetahui apakah dia sudah mengenal bahasa Inggris sebelum dikucilkan, kepadanya diberikan sebagian tes. Dari tes awal diketahui bahwa Genie memahami sejumlah kata – kata lepas yang diucapkan orang lain, tetapi dia hanya memahami sedikit sekali gramatika. Maka dalam hal ini tampaknya dia mendapat tugas yang sulit dan rumit, yakni memperoleh bahasa pertama dengan otak yang sudah masa puber. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa Genie mampu memperoleh bahasa itu meski dalam usia yang sudah melewati masa kritis pemerolehan bahasa.
            Seperti teori sebelumnya mengatakan bahwa otak berada dalam kondisi paling siap untuk mempelajari bahasa tertentu adalah selama masa kanak – kanak hingga masa puber, atau seperti kata Lenneberg antara usia dua tahun sampai masa akil balig. Namun, disini Genie yang baru belajar bahasa pertama, setelah masa kritisnya dilalui ternyata dapat memperoleh kemampuan berbahasa itu. Dalam banyak hal perkembangan bahasa Genie sama dengan pemerolehan bahasa pertama kanak – kanak yang normal.
            Dari sejumlah tes diperoleh informasi bahwa Genie tidak mamiliki fasilitas bahasa pada hemisfer kiri melainkan menggunakan hemisfer kanan, baik untuk fungsi bahasa maupun fungsi nonbahasa. Dalam tes menyimak rangkap dia mempunyai keunggulan telinga kiri yang sangat kuat untuk isyarat – isyarat verbal maupun nonverbal. Hasil tes menyimak rangkap ini memperkuat hipotesis bahwa Genie menggunakan hemisfer kanan untuk berbahasa. Temuan ini juga memperkuat hipotesis mengenai adanya hemisfer yang dominan dan yang tidak dominan.
            Dari kasus Kamala dan Genie sebagai contoh kanak – kanak yang mendapat kesulitan berbahasa karena terasingkan dari lingkungannya, memang bisa dilihat adanya satu hal yang sangat berbeda. Kamala terasing dari lingkungan sosial manusia sejak bayi, sehingga dia tidak lagi mempunyai kemampuan untuk berbahasa. Sedangkan Genie memang terasing tetapi masih berada dalam lingkungan sosial manusia, maka meskipun dengan sangat sukar dia kemudian masih memiliki kemampuan berbahasa meskipun sebagai kemampuan permulaan.


C.    Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seseorang kanak – kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak – kanak sedang memperoleh bahasa pertamanya, yaitu, Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara tidak disadari. Proses kompetensi ini menjadi syarat untuk terjadinya proses performasi yang terdiri dari dua buah proses, yakni :
     Proses pemahaman melibatkan kemampuan atau kepandaian mengamati atau kemampuan mempersepsikan kalimat – kalimat yang didengar.
     Penerbitan melibatkan kemampuan mengeluarkan atau menerbitkan kalimat – kalimat sendiri.
Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan dan apabila telah dikuasai kanak – kanak akan menjadi kemampuan linguistik kanak – kanak itu. Jadi, kemampuan linguistik terdiri dari kemampuan memahami dan kemampuanmelahirkan atau menerbitkan kalimat – kalimat baru yang dalam linguistik transpormasi generatis disebut perlakuan, atau pelaksanaan bahasa, atau performasi.
Sejalan dengan teori Chomsky, kompetensi itu mencakup tiga buah komponen tata bahasa, yaitu :
a.       Komponen Sintaksis, merupakan komponen sentral dalam pembentukan kalimat. Sintaksis adalah urutan dan organisasi kata – kata (leksikon) yang membentuk frase atau kalimat dalam suatu bahasa.tugas utama komponen ini adalah menentukan hubungan antara pola – pola bunyi bahasa itu dengan makna – maknanya dengan cara mengatur urutan kata – kata yang membentuk frase atau kalimat itu agar sesuai dengan makna yang diinginan oleh penuturnya,
b.      Komponen Semantik, sebagai komponen dalam otak yang terpisah dari komponen sintaksis dengan garis yang tegas. Namun, sejumlah pakar pengikut generatif transformasi yang lain menganggap kedua komponen itu, sintaksis dan semantik, tidak mempunyai garis pemisah yang tegas.
c.       Komponen Fonologi, adalah sistem bunyi suatu bahasa. Komponen fonologi ini, sebagai komponen ketiga dalam tata bahasa generatif transformasi memiliki rumus – rumus fonologi yang bertugas mengubah struktur luar sintaksis menjadi representasi fonetik yaitu bunyi – bunyi bahasa yang kita dengar yang diucapkan oleh seorang penutur.
Oleh karena itu, pemerolehan bahasa ini lazim juga dibagi menjadi pemerolehan sintaksis, pemerolehan semntik, dan pemerolehan fonologi.
1.         Hipotesis Nurani
Hipotesis nurani dari beberapa pengamatan yang dilakukan para pakar terhadap pemerolehan bahasa kanak – kanak (Lenneberg, 1967, Chomsky, 1970). Diantara pengamatan itu adalah :
        Semua kanak – kanak yang normak akan memperoleh bahasa ibunya asal saja ”diperkenalkan” pada bahasa ibunya itu. Maksudnya, dia tidak diasingkan dari kehidupan ibunya (keluarganya).
        Pemerolehan bahasa tidak ada hubungannya dengan keceerdasan kanak – kanak. Artinya, baik anak yang cerdas maupun yang tidak cerdas akan memperoleh bahasa itu.
        Kalimat – kalimat yang diajarkan kanak – kanak seringkali tidak lengkap, dan jumlahnya sedikit.
        Bahasa tidak dapat diajarkan kepada mekhluk lain, hanya manusia yang dapat berbahasa.
        Proses pemerolehan bahasa oleh kanak – kanak di mana pun sesuai dengan jadwal yang erat kaitannya dengan proses pematangan jiwa kanak – kanak.
        Struktur bahasa sangat rumit, kompleks, dan bersifat universal. Namun, dapat dikuasai kanak – kanak dalam waktu yang relatif singkat, yaitu dalam waktu antara tiga atau empat tahun saja.
Berdasarkan pengamatan di atas dapat disimpulkan bahwa manusia berbahasa dengan mudah dan cepat. Mengenai hipotesis nurani bahasa, Chomsky dan Miller (1957) mengatakan adanya alat khusus yang dimiliki setiap kanak – kanak sejak lahir untuk dapat berbahasa. Alat itu namanya language acquisition device (LAD), yang berfungsi untuk memungkinkan seorang kanak – kanak memperoleh bahasa ibunya.


2.         Hipotesis Tabularasa
Tabularas secara harfiah berarti ”kertas kosong”, dalam arti belum diisi apa – apa. Lalu, hipotesis tabularas ini menyatakan bahwa otak bayi pada waktu dilahirkan sama seperti kertas kosong, yang nanti akan ditulis atau diisi dengan pengalaman – pengalaman. Hipotesis ini dengan pada mulanya dikemukakan oleh Jhon Locke seorang tokom empiris yang sangat terkenal, kemudian dianut dan disebarluskan oleh Jhon Watson seorang tokoh terkemuka aliran behaviorisme dalam psikologi.
Dalam hal ini, menurut hipotesis tabularasa, semua pengetahuan dalam bahasa manusia yang tampak dalam perilaku berbahasa adalah merupakan hasil dari integrasi peristiwa – peristiwa linguiatik yang dialami dan diamati oleh manusia itu. Sejalan dengan hipotesis ini, behaviorisme menganggap bahwa pengetahuan linguitik terdiri hanya dari rangkaian hubungan – hubungan yang dibentuk dengan cara pembelajaran stimulus – respons.

3.         Hipotesis Kesemestaan Kognitif
Dalam kognitifisme hipotesis kesemestaan kognitif yang diperkenalkan oleh Piaget telah digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan proses – proses pemerolehan bahasa kanak – kanak. Piaget sendiri sebenarnya tidak pernah secara khusus mengeluarkan satu teori mengenai pemerolehan bahasa karena beliau menganggap bahasa merupakan satu bagian dari perkembangan kognitif (intelek)secara umum.
Menurut teori yang didasarkan pada kesemestaan kognitif, bahasa diperoleh berdasarkan struktur – struktur kognitif deriamor. Struktur – struktur ini diperoleh kanak – kanak melalui interaksi dengan benda – benda atau orang – orang di sekitarnya.

D.    Pembelajaran Bahasa
Digunakannya istilah pembelajaran bahasa karena diyakini bahwa bahasa kedua dapat dikuasai hanya dengan proses belajar, dengan cara sengaja dan sadar. Hal ini berbeda dengan penguasaan bahasa pertama atau bahasa ibu yang diperoleh secara alamiah, secara tidak sadar didalam lingkungan keluarga pengasuh kanak – kanak itu. Bahasa kedua juga merupakan sesuatu yang dapat diperoleh, baik secara formal dalam pendidikan formal, maupun informal dalam lingkungan kehidupan.

a.    Dua tipe pembelajaran bahasa
 Ellis (1986:215) menyebutkan adanya dua tipe pembelajaran bahsa yaitu:
        Tipe Naturalistik, bersifat alamiah tanpa guru dan tanpa kesengajaan. Pembelajaran berlangsung didalam lingkungan kehidupan bermasyarakat. Dalam masyarakat bilingual atau multilingual tipe naturalistik banyak dijumpai.seorang kanak – kanak yang didalam lingkungan keluarganya menggunakan B1, misalnya bahasa X, begitu keluar dari rumah berjumpa dengan teman – teman lain yang berbahasa lain, misalnya bahasa Y, akan mencoba dan berusaha menggunakan bahsaa Y.
        Tipe formal berlangsung di dalam kelas dengan guru, materi, dan alat – alat bantu belajar yang sudah dipersiapkan. Seharusnya hasil yang diperoleh secara formal dalam kelas ini jauh lebih baik daripada hasil secara naturalistik.

b.   Hipotesis – hipotesis pembelajaran bahasa
Hasil yang telah dicapai oleh para pakar pembelajaran bahasa sampai saat ini belum secara mantap bisa disebut sebagai teori karena belum teruji dengan mantap. Oleh karena itu, masih lebih umum disebut sebagai suatu hipotesis. Diantara hipotesis – hipotesia yang diketengahkan adalah :


1        Hipotesis Kesamaan Antara B1 dan B2
Hipotesis ini menyatakan adanya kesamaan dalam proses belajar B1 dan belajar B2. kesamaan itu terletak pada urutan pemerolehan struktur bahasa, seperti modus interogasi, negasi, dan moorfem – morfem grgamatikal. Hipotesis ini menyatakan bahwa unsur – unsur bahasa bahasa diperoleh terlebih dahulu, sementara unsur kebahasaan lain diperoleh baru kemudian. Studi tentang ururtan pemerolehan morfem gramatika bahasa Inggris telah membuktikan hal ini (Nurhadi, 1990:5). Namun, dalam hal penguasaan lafal, kanak – kanak dapat menguasai B1 denan pelafalan yang baik dan secara alami, ssedangkan B2 dapat dikuasai dengan pelafalan yang kurang sempurna.
2        Hipotesis Kontrastif
Hipotesis ini juga menyatakan bahwa seorang pembelajaran bahasa kedua seringkali melakukan transfer B1 ke dalam B2 dalam menyampaikan suatu gagasan. Transfer ini dapat terjadi pada semua tingkat kebahasaan : tata bunyi, tata bentuk, tata kalimat, maupun tata kata (leksikon). Dalam hal ini bisa terjadi transfer positif, yakni kalau struktur B1 dan B2 itu sama, dan ini akan menimbulkan kemudahan. Dapat juga terjadi transfer negatif, yakni kalau struktur B1 dan B2 itu tidak sama dan ini akan menimbulkan kesuliatan.
3        Hipotesis Krashen
Berkenaan dengan proses pemerolehan bahasa, Stephen Ktashen mengajukan sembilan buah hipotesis yang saling berkaitan, yaitu :
        Hipotesis Pemerolehan dan Belajar
Menurut hipotesis ini dalam penguasaan suatu bahasa perlu dibedakan adanya pemerolehan (acquisition) dan belajaar (learning). Pemerolehan adalah penguasaan suatu bahasa melalui cara bawah sadar atau alamiah, dan terjaadi tanpa kehendak yang terencana. Proses pemerolehan tidak melaui usaha belajar adalah uusaha sadar untuk secara formal dan eksplisit menguasai bahasa yang dipelajari, terutama yang berkenan dengan kaidah – kaidah bahasa. Belajar terutama terjadi atau berlangsung dalam kelas.
        Hipotesis Urutan Alamiah
Hippotesis ini menyatakan bahwa dalam proses pemerolehan bahasa kanak – kanak memperolsh unsur -  unsur bahasa menurut urutan tertentu yang dapat diprediksikan. Ururtan ini bersifat alamiah. Hasil penelitian menunjukan adanya pola pemerolehan unsur – unsur bahasa yang relatif stabil untuk bahasa pertama, bahasa kedua, maupun bahasa asing.
        Hipotesis Monitor
Hipotesis monitor ini menyatakan adanya hubungan antara proses sadar dalam pemerolehan bahasa. Proses sadar menghasilkan hasil belajar dan proses bawah sadar menghasilkan pemerolehan. Kita dapat berbicara dalam bahasa tertentu adalah karena sistem yang kita miliki sebagai hasil dari pemerolehan, dan bukan dari hasil belajar. Semua kaidah tata bahasa yang dihafalkan tidak semua membantu kelancaran dalam berbicara. Kaidah tata bahasa yang kita kuasai hanya berfungsi sebagai monitor saja dalam pelaksanaan (performasi) berbahasa.
        Hipotesis Masukan
Hipotesis ini menyatakan bahwa seseorang menguasai bahasa melaui masukan yang dapat dipahami yaitu dengan memusatkan perhatian pada pesan atau isi, dan bukannya pada bentuk. Hal ini berlaku bagi semua orang dewasa maupun kanak – kanak, yang sedang belajar bahasa. Hipotesis ii menyatakan bahwa kegiatan mendengarkan untuk memehami isi wacana sangat penting dalam proses n dengngpemerolehan bahasa, dan penguasaan bahasa secara aktif akan datang pada waktunya nanti.
        Hipotesis Afektif (sikap)
Hipotesis ini menyatakan bahwa orang dengan kepribadian dan motivasi tertentu dapat memperoleh bahasa kedua dengan lebih baik dibandingkan orang dengan kepribasian yang agak tertutup.
        Hipotesis Pembawaan
Hipotesis ini menyatakan bahwa bakat bahasa mempunyai hubungan yang jekas dengan keberhasilan belajar bahasa kedua. Krashen menyatakan bahwa sikap secara langsung berhubungan dengan pemerolehan bahasa kedua, sedangkan bakat berhubungan dengan belajar. Mereka yang menda[at nilai tinggi dalam tes bakat bahasa, pada umumnya berhasil baik dalam tes tata bahasa. Jadi, asprk ini banyak berkaitan dengan belajar, dan bukan dengan pemerolehan.
        Hipotesis Filter Afektif
Hipotesis ini menyatakan bahwa sebuah filter yang bersifat afektif dapat menahan masukan sehinngga seseorang tidak atau kurang berhasil dalam usahanya untuk memperileh bahasa kedua. Filter itu dapat berupa kepercayaan diri yang kurang, situasi yang menegangkan, sikap defensi dan sebagainya, yang dapat mengurangu kesempatan bagi masukan untuk masuk kedalam sistem bahasa yang dimiliki seseorang. Filter afektif ini lazim juga disebut menal block.
        Hipotesis Bahasa Pertama
Hipotesis ini menyatakan bahwa bahasa pertama anak akan digunakan untuk mengawali ucapan dalam bahasa kedua, selagi penguasaan bahasa kedua belum tampak. Jika seseorang anak pada tahap permulaan belajar bahasa kedua dipaksa untuk menggunakan atau berbicara dalam bahasa kedua, maka dia akan menggunakan kosa kata dan aturan tata bahasa kedua, maka dia akan menggunakan kosa kata dan aturan tata bahasa pertamanya. Oleh karena itu, sebaiknya guru tidak memaksa siswanya untuk menggunakan bahasa kedua yang sedang dipelajarinya. Berilah kesempatan pada anak untuk mendapatkan input yang bermakna dan untuk mengurangi filter afektifnya. Dengan demikian, penguassan bahasa kedua dengan sendirinya akan berkembang pada waktunya.
        Hipotesis Variasi Individual Penggunaan Monitor
Hipotesis ini menyatakan bahwa cara seseorang memoonitor penggunaan bahasa yang dipelajarinya ternyata bervariasi. Ada yang erus – menerus menggunakannya secara sistematis, tetapi ada pula yang tidak pernah menggunakannya. Namun, di antara keduanya ada pula yang menggunakan monitor itu sesuai dengan keperluan atau kesempatan untuk menggunakannya.
4        Hipotesis Bahasa-Antara
Bahasa antara (interlanguage) adalah bahasa/ujaran yang digunakan seseorang yang sedang belajar bahassa kedua pada satu tahap tertentu, sewaktu dia belum dapat menguasai dengan baik dan sempurna bahasa kedua itu. Bahsa antara ini memiliki ciri bahasa pertama dan ciri bahassa kedua. Bahsa ini bersifat khas dan mempunyai karakteristik tersendiri yang tidak sama dengan bahasa pertama dan bahasa kedua. Tampaknya semacam perpindahan dari bahasa ke bahasa kedua.
5        Hipotesis Pijinisasi
Hipotesis ini menyatakan bahwa dalam proses belajar bahasa kedua, bisa saja selain terbentuknya bahasa antara terbentuk juga yangg disebut bahasa pijin, yaitu sejenis bahasa yang digunakan oleh satu kelompok masyarakat dalam wilayah tertentu yang berada didalam dua bahasa tertentu. Bahasa pijin ini digunakan untuk keperluan singkat dalam masyarakat yang masing – masing memiliki bahasa sendiri. Jadi, bisa dikatakan bahasa pijin ini tidak memiliki penutur asli (Chaer dan Agustina, 1995)

c.       Faktor – Faktor Penentu dalam Pembelajaran Bahasa Kedua
1.      Faktor Motivasi
Dalam kaitannya dengn pembelajaran bahasa kedua, motivasi  itu mempunyai dua fungsi yaitu, fungsi integritas adalah mendorong seseorang untuk mempelajari suatu bahasa karena adanya keinginan untuk berkomunikasi dengan mempelajari suatu bahasa karena addanya keinginan untuk berkomunikasi dengan masyarakat penutur bahasa itu atau menjadi anggota masyarakat bahasa tersebut. Sedangkan motivasi berfungsi instrumental adalah kalau motivasi itu mendorong seseorang untuk memiliki kamauan untuk mempelajari bahasa kedua itu karena tujuan yang bermanfaat atau karena dorongan ingin memperoleh suatu pekerjaan atau mobilitas sosial pada lapisan atas masyarakat tersebut (Gardner dan Lambert, 1972:3)
2.      Faktor usia
Ada anggapan umum dalm pembelajar bahasa kedua bahwa abak – anak lebih baik dan lebih berhasil dalam pembelajaran bahasa kedua dibandingkan dengan orang dewasa. Anak – anak tampaknya lebih mudah dalam memperolah bahasa baru, sedangkan orang tua tampaknya mendapat kesulitan dalam memperolah tingkat kemahiran bahasa kedua.
3.      Faktor Penyajian Formal
Pembelajaran atau penyajian pembelajaran bahasa secara formal tentu memiliki pengaruh terhadap kecepatan dan keberhasilan dalam memperoleh bahassa kedua karena berbagai faktor dan variabel telah disiapkan dan diadakan dengan sengaja. Demikian juga keadaan lingkungan pembelajar bahasa kedua secara formal, didalam kelas, sangat berbeda dengan lingkungan pembelajaran bahasa kedua secara naturalistik atau alami.
4.      Faktor bahasa pertama
Para pakar pembelajar bahasa kedua pada umumnya percaya bahwa bahasa pertama mempunyai pengaruh terhadap proses penguasaan bahasa kedua pembelajaran. Bahasa pertama ini telah lama dianggap menjadi pengganggu di alam proses pembelajaran bahsa kedua. Hal ini karena biasa terjadi seorang pembelajar secara sadar atau tidak melakukan transfer unsur – unsur bahasa pertamanya ketika menggunakan bahasa kedua. Akibatnya, terjadilah yang disebut interferensi, alih kode, campur kode, atau kekhilafan.












                                                                                                                           

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Anak-anak normal memperoleh bahasa secara alamiah dan mampu mengikuti pembelajaran bahasa. Namun, sebagian lainnya karena berbagai sebab mengalami kesulitan dalam memperoleh bahasa dan pembelajaran bahasa. Padahal bahasa adalah salah satu aspek penting bagi manusia untuk dapat mengekspresikan diri, bersosialisasi, dan memperoleh ilmu dalam pendidikan, serta digunakan dalam komunikasi dengan lingkungan sekitar.

B.     Saran
            Perlu adanya perhatian khusus dalam pemerolehan bahasa ibu, bahasa kedua, dan selanjutnya. Penggunaan istilah bahasa ibu perlu dilakukan dengan hati – hati sebab banyak kasus terjadi, terutama dikota besar yang multilingual. Dengan banyaknya kasus yang terjadi maka, dengan penggunaan istilah bahasa pertama akan lebih tepat daripada penggunaan bahasa ibu.











DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik kajian teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.











1
SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLINGUISTIK Oleh Suci Sundusiah
1. Pendahuluan
Pada awalnya, psikolinguistik bukanlah ilmu mandiri yang dikaji secara khusus. Psikolinguistik merupakan ilmu yang dikaji secara terpisah baik oleh pakar linguistik maupun pakar psikologi. Istilah psikolinguistik sendiri pertama kali digunakan oleh Thomas A. Sebeok dan Charles E. Osgood pada tahun 1954 pada sebuah buku yang berjudul Psycholinguistik : A Survey of Theory and Research Problems. Walaupun sebetulnya, pengkajian ilmunya telah dimulai sejak zaman Sokrates dan Panini. Dua aliran filsafat, yakni empirisme dan rasionalisme turut berkontribusi dalam perkembangan pemikiran para ilmuan di dua ranah ilmu tadi. Filsafat empirisme mengagnggap bahwa ilmu merupakan objek kajian yang dapat dikenali secara inderawi. Filsafat ini erat kaitannnya dengan psikologi asosiasi. Aliran ini mengkaji objek ilmu dengan menganalisis unsur-unsur pembentuknya sampai sekecil-kecilnya. Aliran filsafat rasionalisme mengkaji bahwa akal sebagai faktor yang harus dikaji agar memahami perilaku manusia. Turunan aliran rasionalisme ini adalah faham nativisme, idealisme, dan mentalisme.
2. Psikologi dalam Linguistik
Beberapa tokoh linguistik yang tertarik untuk mengkaji bahasa secara psikologi adalah Von Humbolt, Ferdinand de Saussure, Edward Sapir, Leonard Bloomfield, dan Otto Jespersen.
Von Humbolt (1767-1835) ialah ahli linguitik asal Jeman yang membandingkan tatabahasa antar bahasa yang berlainan dengan tabiat penutur bahasa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tatabahasa suatu
2
bangsa menunjukkan pandangan hidup bangsa tersebut. Von Humbolt sangat dipengaruhi aliran rasionalisme yang menganggap bahwa bahasa adalah bagian yang tidak dapat dipotong-potong atau diklasifikasikan seperti pada pendapat aliran empirisme. Ferdinand de Saussure (1858-1913), dalam perkuliahannya memperkenalkan tiga istilah penting dalam linguistik, yaitu langue, langage dan parole. Langue bermakna bahasa tertentu yang masih bersifat abstrak, langage bermakna bahasa yang bersifat umum, sedangkan parole merupakan bahasa tuturan secara konkret. Saussure menegaskan bahwa kajian linguistik adalah langue, sedangkan objek kajian psikologi adalah parole. Oleh karena itu, linguis berkebangsaan Swiss ini berpendapat, jika ingin mengkaji bahasa secara utuh, maka ilmu yang dapat mengkajinya adalah linguistik dan psikologi. Edward Sapir (1884-1939), mengkaji hubungan antara bahasa dengan pikiran. Berdasarkan kajiannya, linguis dan antropologis asal Amerika ini berkesimpulan bahwa bahasa terutama strukturnya merupakan unsur yang mennetukan struktur pikiran manusia. Dia pun menambahkan bahwa linguistik dapat berkontribusi pada teori psikologi Gestalt, begitu pula sebaliknya. Leonard Bloomfield (1887-1949), pada perkembangan ilmunya banyak dipengaruhi oleh dua aliran psikologi yang bertentangan, yakni behaviorisme dan mentalisme. Pada awalnya, linguis Amerika ini mengkaji bahasa dengan pendekatan mentalisme. Dia berpendapat bahwa berbahasa dimulai dari melahirkan pengalaman luar biasa , terutama karena penjelmaan tekanan emosi yang sangat kuat. Karena tekanan emosi itulah maka akan keluar ucapan atau kalimat berbentuk eklamasi, lalu keluar keinginan berkomunikasi berupa deklarasi. Jika keinginan deklasi ini keluar dalam bentuk keingintahuan maka keluarlah interogasi. Pada tahun 1925 Bloomfield meninggalkan aliran empirisme dan beralih pada aliran behaviorisme, yang memunculkan teori bahasa “linguistik struktural” dan “linguistik taksonomi”.
3
Otto Jesperson, beraliran mentalistik dan berbau behaviorisme. Jesperson berpendapat bahwa bahasa bukanlah suatu wujud pengertian satu benda tetapi merupakan fungsi-fungsi lambang di dalam otak manusia yang melambangkan pikiran. Menurutnya, satu kata pun dapat diwujudkan dalam perilaku.
3. Linguistik dalam Psikologi
Pada perkembangannya, ada beberapa pakar psikologi yang juga mengkaji psikologi secara linguistis. Pakar-pakar itu adalah John Dewey, Karl Buchler, Wundt, Watson, dan Weiss. John Dewey (1859-1952) merupakan psikolog kebangsaan Amerika yang menganut empirisme murni. Beliau menafsirkan bahasa kanak-kanak berdasarkan prinsip-prinsip psikologi. Beliau menyarankan agar penggolongan kata-kata untuk anak-anak berdasarkan pada makna yang dipahami anak-anak. Karl Buchler, ialah pakar psilogi kebangsaan Jerman. Beliau menulis buku berjudul Sparch Theorie (1934) yang menyatakan bahwa bahasa manusia memiliki tiga fungsi yang disebut Organon Modell der Saprch yaitu Kungabe (Ausdruck) Appell (Auslosung) dan Darstellung. Kungabe adalah tindakan komunikatif berwujud verbal. Appell adalah permintaan yang ditujukan kepada orang lain. Darstellung adalah penggambaran masalah pokok yang dikomunikasikan.
Wundt (1932-1920), ialah pakar psikologi Jerman yang pertama kali mengembangkan teori mentalistik bahasa. Wundt mengjelaskan bahasa alat untuk melahirkan pikiran. Hal ini terjadi karena terdapat perasaan-perasaan serta gerak-gerak yang melahirkan bahasa secara tidak sadar. Menurut Wund, satu kalimat merupakan suatu kejadian akal yang terjadi secara serempak. Wundt pun terkenal dengan teori performansi bahasa (language
4
performance). Teori ini menjelaskan dua aspek, yakni fenomena luar (citra bunyi) dan fenomena dalam (rekaman pikiran). Watson (1878-1958), menyamakan antara perilaku berbahasa dengan perilaku lainnya seperti makan, berjalan, dll. Perilaku bahasa menurut Watson adalah hubungan stimulus-respons (S-R) yang menyamakan perilaku kata-kata dengan benda-benda. Dengan demikian, pakar psikologi berkebangsaan Amerika ini menganut aliran psikologi behaviorisme. Weiss, mengakui adanya aspek mental dalam bahasa. Hanya saja, karena wujud bahasa tidak tampil secara fisik maka sukar dikaji dan diwujudkan kecuali jika bahasa berada pada konteks sosialnya. Weiss banyak berjasa bagi perkembangan awal psikolinguistik, beberapa masalah yang berhasil dipecahkan Weiss secara psikologi-bahasa menurut alirannya, behaviorisme adalah :
a. bahasa merupakan satu kumpulan respons yang jumlahnya tidak terbatas terhadap suatu stimulus.
b. pada dasarnya, perilaku bahasa menyatukan anggota suatu masyarakat ke dalam organisasi gerak syaraf.
c. perilaku bahasa adalah sebuah alat untuk mengubah dan meragamkan kegiatan seseorang sebagai hasil warisan dan hasil perolehan.
d. Bahasa dapat merupakan stimulus terhadap suatu respons.
e. respons bahasa sebagai suatu stimulus pengganti untuk benda dan keadaan yang sebenarnya memungkinkan kita untuk memunculkan kembali suatu hal yang pernah terjadi, dan menganalisis kejadian ini dalam bagian-bagian.
4. Kerja sama Psikologi dan Linguistik
Kerja sama kedua disiplin ilmu ini pertama kali berlangsung pada tahun 1860. Pada saat itu, Heyman Steinthal seorang ahli psikologi yang beralih menjadi linguis dan Moritz Lazarus ahli linguistik yang beralih menjadi ahli psikologi menerbitkan jurnal “Zeitschrift fur Volkerpsychologie und
5
Sparch Wissenschaft” (Jurnal Psikologi sosial dan Linguistik). Menurut Steinthal, ilmu psikologi tidak mungkin dapat hidup tanpa ilmu linguitik. Pada tahun 1901, Albert Thumb (ahlilinguistik) dan Karl Marbe (ahli psikologi) menerbitkan buku berjudul Experimentelle Untersuchungen iiber die PsychologishenGrundallen der Sparchichen Analogiebieldung. Kedua pakar tadi menggunakan kaidah-kaidah psikologi eksperimental untuk meneliti hipotesis-hipotesis linguistik yang menghasilkan pengaruh sangat kuat akan lahirnya psikolinguistik. Sebuah lembaga sosial Amerika bernama Social Science Research Council menyelenggarakan sebuah seminar tahun 1951 mempertemukan para pakar linguistik, psikologi, patologi, ahli-ahli teori informasi, dan pembelajaran bahasa. Mereka merumuskan hubungan kerjasama antara psikologi dan linguistik. Kemudian pada tahun 1953, Osgood (linguis), Sebeok (linguis), dan Caroll (ahli psikologi) bertemu dalam seminar di Universitas Indiana Amerika Serikat. Pertemuan ini menghasilkan buku Pscholinguistics : A Survey of Theory and Research Problems. Buku ini kemudian disunting oleh Osgoods dan Sebeok. Inilah buku psikolinguistik pertama yang menggunakan istilah psikolinguistik. Sebelumnya Albert Thumb dan Karl Marbe tidak memakai nama itu. Tahun 1946, N.H. Pronko dalam artikelnya yang berjudul “Language and Psycholinguistics : A Review” dimuat dalam jurnal Psychological Bulletin. Pronko mengaku istilah psikolinguistiknya diperoleh dari gurunya Jacob Robert Kantor dalam buku An Objective Psycology of Grammar( 1936). Dasar-dasar ilmu psikologi menurut Osgoods dan Sebeok adalah :
a. Psikolinguistik adalah suatu teori linguistik berdasarkan bahasa yang dianggap sistem elemen yang saling berhubungan erat.
b. Psikolinguistik adalah satu teori pembelajaran (menurut behaviorisme) yang berdasar pada bahasa yang dianggap sebagai sistem tabiat.
c. Psikolinguistik adalah satu teori informasi yang menganggap bahasa sebagai alat untuk menyampaikan suatu benda.
6
5. Psikolinguistik sebagai Disiplin Mandiri
Dibukanya program khusus psikolinguistik pada tahun 1953 oleh R. Brown meruapakn tanda formal ilmu ini adalah disiplin mandiri. Sarjana pertama disiplin ilmu ini adalah Eric Lenneberg. Pakar lain yang kemudian muncul adalah Leshley, Osgoods, Skinner, Chomsky, dan Miller yang kesemuanya sangat berjasa bagi perkembangan psikolinguistik. Pada tahun 1957 Skinner menerbitkan buku Verbal Behaviour. Pada tahun yang sama Chomsky mengeluarkan buku Syntactic Structure. Kemudian Leshley berpendapat bahwa lahirnya suatu ucapan bukanlah pertalian serentetan respeons tetapi merupakan kejadian serempak, dan secara tidak langsung struktur sintaksis ucapan itu dihubungkan dengan bentuk urutannya. George Miller dalam artikelnya yang berjudul “The Psycolinguistics” (1965) menjelaskan bahwa lahirnya ilmu psikinguistik karena kontribusi ilmu psikologi yang mengakui bahwa akal manusia menerima lambang-lambang linguistik, sedangkan linguistik mengakui bahwa diperlukan psiko-motor-sosial untuk menggerakkan tata bahasa. Miller pun memperkenalkan teori generatif transformasi Chomsky yang menganggap bahwa bahasa merupakan kemampuan manusia yang sangat rumit. Oileh karena itu, tugas peikolinguiatik adalah meneliti kemampuan yang rumit itu dengan terperinci. Miller pun menegaskan bahwa bahasa bukan hanya mempermasalahkan arti tetapi bagaimana kekmampuan manusia dalam mengatur syaraf-sayaraf atau kalimat-kalimat baru yang sangat berguna.
Jika disimpulkan, pada awalnya, psikolinguistik beraliran behaviorisme. Namun, berdasarkan perkembangannya yang bersifat mentalis dan mencoba menjelaskan hakikat rumus yang dihipotesiskan, maka kajian psikolinguistik pun semakin berkembang pada arah kognitif. Lahirnya tata bahasa generatif oleh Chomsky merupakan inovasi tersendiri di bisang
7
ini. Oleh karena itu, Chomsky disebut sebagai “Bapak Linguistik Modern” sedangkan Wilhem Wundt disebut sebagai “Bapak Psikolinguistik Klasik”.
6. Tiga Generasi Psikolinguistik
Perkembangan disiplin ilmu psikolinguistik telah merangsang Mehler dan Noizet untuk menulis artikel “Vers une Modelle Psycholinguistique du Locuter” (1974) yang dimuat di Textes Pour une Psycholinguistique. Dalam artikel ini dijelaskan bahwa ada tiga generasi perkembangan psikolinguistik. 6.1 Psikolinguistik Generasi Pertama Psikolinguistik generasi pertama ini ditandai oelh penulisan artikel “Psycholinguistics : A Survey of Thery and Research Problems” yang disunting oleh C. Osgoods dan Sebeok. Maka kedua tokoh ini dinobatkan sebagai tokoh psikolinguistik generasi pertama. Titik pandang Osgoods dan Sebeok dipengaruhi aliran behaviorisme. Menurut Parera (1996) dalam Abdul Chaer generasi pertama memiliki tida kelemahan :
a. adanya sifat reaktif dari psikolinguistik tentang bahasa yang memandang bahwa bahasa bukanlah satu tindakan atau perbuatan manusiawi melainkan dipandang sebagai satu stimulus-respons.
b. psikolinguistik bersifat atomistik. Sifat ini nampak jelas ketika Osgoods mengungkapkan teori pemerolehan bahasa bahwa jumlah pemerolehan bahasa adalah kemampuan untuk membedakan kata atau bentuk yang berbeda, dan kemampuan untuk melakukan generalisasi.
c. bersifat individualis. Teorinya menekankah pada eprilaku berbahasa individu-individu yang terisolasi dari amsyarakat dan komunikasi nyata.
8
Tokoh lain psikolinguistik generasi pertama ini adalah Bloomfoeld dan Skinner.
6.2 Psikolinguistik Generasi Kedua
Teori-teori generasi pertama ditolak oleh beberapa tokoh seperi Noam Chomsky dan George Miller. Menurut Mehler dan Noizet, psikologi generasi kedua telah menagatasi ciri-ciri atomistik psikolinguistik. Psikologi generasi ini berpendapat bahwa dalam proses berbahasa bukanlah butir-butir bahasa yang diperoleh, melaikan kaidah dan sistem kaidahnya. Di sini, orientasi psikologis digantikan oleh orientasi linguistik. Penggabungan antara Miller dan Chomsky meruapakan penggabungan model-model linguistik tatabahasa Chomsky yang relatif berbeda dengan proses-proses psikologi. Malah Mehler dan Noizet mengatakan bahwa psilinguistik generasi kedua anti-psikologi. Tokoh fase ini lebih mengarah pada manifestasi ujaran sebagai bentuk linguistik. G.S. Miller dan Noam Chomsky menyatakan beberapa hal tentang psikolinguistik generasi kedua ini dalam artikel “Some Preliminaries to Psycholinguistics” :
a. Dalam komunikasi verbal, tidak semua ciri-ciri fisiknya jelas dan terang, dan tidak semua ciri-ciri yang etrang dalam ujaran mempunyai representasi fisik.
b. makna sebuah tuturan tidak boleh dikacaukan dengan apa yang ditunjukkan. Makna adalah sesuatu yang sangat kompleks yang menyangkut antar hubungan simbol-simbol atau lambang-lambang. Respons yang terpenggal-penggal terlalu menyederhanakan manka secara keseluruhan.
c. Struktur sintaksis sebuah kalimat terdiri atas satuan-satuan interaksi anatara makna kata yang terdapay dalam kalimat tersebut. Kalimat-kalimat itu tersusun secara hierarkis, tetapi belum cukup menjelaskan wujud luar linguistik.
9
d. Jumlah kalimat dan jumlah makna yang dapat diejawantahkan tidak terbatas jumlahnya. Pengetahuan seseorang akan bahasa harus dikaitkan dengan kemampuan seseorang menyusun bahasa dalam sisitem sintaksis dan semantik.
e. Harus dibedakan antara pendeksripsian bahasa denga pendeskripsian pemakaian bahasa. Seorang ahli psikolinguistik harus merumuskan model-model pengejawantahan bahasa yang dapat meliputi pengetahuan kaidah bahasa.
f. Ada komponen biologis yang besar untuk menentukan kemampuan berbahasa. Kemampuan berbahasa ini tidak tergantung apada intelegensi dan besarnya otak, melainkan bergantung pada “manusia”.
6.3 Psikolinguistik Gegerasi Ketiga
Psikolinguistik generasi kedua menyatakan bahwa analisis mereka mengakui bahasa telah melampaui batas kalimat. Namun, pada kenyataannya, analisis mereka baru sampai pada tahap kalimat saja, belum pada wacana. Kekurangan analisis pada psikolinguistik generasi kedua kemudian diperbaharui oleh psikolinguistik generasi ketiga. G. Werstch dalam bukunya Two Problems for the New Psycholinguistics memberi karakteristik baru ilmu ini sebagai “psikolinguistik baru”. Beberapa ciri psiklonguistik generasi ketiga ini adalah :
a. Orientasi mereka kepada psikologi, tetapi bukan psikologi perilaku. Seperti yang diungkapkan Fresse dan Al Vallon (Prancis) dan psikolog Uni Soviet, telah terjadi proses serempak dari informasi psikologi dan linguistik.
b. Keterlepasan mereka dari kerangka “psikolinguistik kalimat”, dan lebih mengarah pada “psikolnguistik situasi dan konteks”.
c. Adanya pergeseran dari analisis proses ujaran yang abstrak ke satu analisis psikologis mengenai komunikasi dan pikiran.
10
Sebetulnya, psikolinguistik di Rusia lebih dahulu berkembang dari pada di negara-negara Barat. Hal ini terjadi karena sejak awal psikolinguistik di Rusia telah memperhitungkan perilaku komunikasi dan perpikiran dalam analisis psikolinguistik. Selain itu, psikolinguistik di Rusia dikenal dengan istilah “Teori Aktivitas Ujaran” yang mendasarkan dirinya pada postulat bahwa perilaku manusia bersifat aktif, porpusif, dan inovatif. Postulat ini di negara batar belum tercapai.
11
DAFTAR PUSTAKA Dardjowidjojo, Sunjono. 2003. Psiko-Linguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta : Yayasan Obor. Djumransjah. 2004. Pengantar Filsafat Pendidikan. Malang : Bayumedia Publishing. Mar’at, Samsuniwiyati. 2005. Psikolingusitik Suatu Pengantar. Bandung : Refika Aditama.